Sabtu 28 Dec 2019 20:06 WIB

Alissa Wahid: Kita Belum Maksimalkan Kearifan Tradisional

Alissa Wahid menilai masih banyak kearifan tradisional yang belum digali.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Indira Rezkisari
Alissa Wahid.
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Alissa Wahid.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puteri pertama KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Alissa Wahid, menyampaikan saat ini belum ada upaya memaksimalkan pengetahuan dan kearifan tradisional. Menurutnya ada banyak kearifan tradisional di Indonesia, tapi masih diabaikan.

"Kita tidak memaksimalkan pengetahuan dan kearifan tradisional kita, misalnya pengobatan yang berasal dari kearifan lokal. Itu kan banyak sekali, tapi kita mengabaikannya," tutur dia dalam konferensi pers Haul Gus Dur ke-10 di Ciganjur, Jakarta, Sabtu (28/12).

Baca Juga

Alissa pun menyayangkan pandangan sempit tentang arti kemajuan, yang menurut sebagian orang adalah hal yang datang dari luar atau sesuatu yang modern. Gerakan kebudayaan juga masih dipandang sebagai gerakan melestarikan ekspresi seni dan budaya seperti tarian, pakaian, ataupun arca. "Padahal kebudayaan lebih dari itu," jelasnya.

Haul KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang ke-10 digelar di kediamannya di Jl Warung Sila, Kompleks Al-Munawaroh, Ciganjur, Jakarta Selatan, Sabtu (28/12). Haul kali ini mengangkat tajuk "Kebudayaan Melestarikan Kemanusiaan" yang pernah dikatakan oleh Presiden RI ke-4 itu.

Forum Rembug Budaya menjadi bagian dari rangkaian Haul Gus Dur. Forum rembug tersebut juga merupakan salah satu rangkaian dari Haul Gus Dur yang ditujukan untuk mempertemukan berbagai tokoh agama, masyarakat, pemangku kepentingan, dan tokoh anak muda untuk merumuskan manifestasi kebudayaan Gus Dur.

Forum Rembug Budaya telah menghasilkan beberapa butir pemikiran dan rekomendasi. Di antaranya, pertama adalah kebudayaan harus melestarikan kemanusiaan dengan menangkap pergumulan kemanusiaan, khususnya pengalaman hidup kelompok-kelompok rentan atau lemah seperti perempuan, penghayat kepercayaan, difabel, dan lainnya.

Kedua, gerakan dan kebijakan kebudayaan harus membangun ekosistem kebudayaan yang partisipatoris, sehingga pengenbangan kebudayaan tidak bertumpu pada elitisme kebudayaan. Ketiga, negara dan masyarakat harus mengedepankan pendekatan kebudayaan sebagai bentuk pengelolaan keberagaman dan instrumen resolusi konflik.

Keempat, negara harus menjadi fasilitator dalam tata kelola kebudayaan, dengan menjadikan kebudayaan sebagai kata kerja, sumber pengetahuan, dan elan vital dalam membangun peradaban yang lebih manusiawi. Kelima, paradigma pembangunan harus berdasarkan strategi kebudayaan nasional, dan dijabarkan dalam kebijakan dan strategi anggaran, serta diimplementasikan secara komprehensif sampai ke pemerintah daerah.

Keenam, negara harus memberikan jaminan perlindungan berekspresi dan dukungan sumber daya untuk gerakan kebudayaan dalam bentuk akses, fasilitas, dan ruang. Ketujuh, negara dan masyarakat perlu membangun model praktik keberagamaan yang kontekstual dengan konstruksi budaya Indonesia. Agama dan budaya tidak saling mengalahkan, bukan dikotomi yang kontradiktif, tetapi dialektis, keduanya saling belajar dan mengambil. Beragama yang berkebudayaan berarti praktik beragama yang membawa manfaat dan maslahat termasuk untuk alam.

Kedelapan, sistem pendidikan harus mengembangkan potensi kemanusiaan agar tidak dikendalikan oleh teknologi, tetapi menguasainya melalui khazanah pengetahuan dan budaya. Kesembilan, kebudayaan perlu dioptimalkan sebagai cara menumbuhkan daya kritis terhadap kekuasaan, untuk mengikis pragmatisme dan apatisme politik.

Kesepuluh, negara perlu meninggalkan model ekonomi ekstraktif yang mengorbankan keberlanjutan ekologi dan mulai menggali potensi ekonomi yang berbasis pengetahuan tradisional dan kearifan lokal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement