REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi I DPR RI mengaku sepakat dengan pernyataan pemerintah yang tak mencampuri urusan dalam negeri China, terkait Muslim Uighur yang menjadi pembicaraan beberapa waktu belakangan. Namun, Komisi I meminta pemetintah bersikap terkait permasalahan tersebut atas nama hak kebebasan beragama.
"Sikap itu bisa saja mengimbau jangan dilakukan, berikan kebebasan untuk menjalankan agama bagi muslim yang ada di Uighur. Ada keberpihakan terhadap penindasan pada muslim Uighur," ujar Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari saat dihubungi, Jumat (27/12).
Indonesia sebagai negara dengan pemeluk agama Islam terbanyak di dunia haruslah bersikap terkait permasalahan Uighur. Apalagi, diberitakan bahwa pemerintah China melakukan persekusi terhadap mereka.
"Jika terjadi penindasan, pelanggaran HAM dan Indonesia sebagai, apalagi ini definitif sekali yang ditindas, yang seperti yang di berita itu adalah orang Islam. Sementara Indonesia negara yang mayoritas muslim atau muslim terbesar itu saya kira tidak bisa tinggal diam," ujar Kharis.
Dengan adanya pernyataan sikap, Indonesia akan dinilai tak menyetujui pelanggaran HAM dalam bentuk apapun. Apalagi jika yang dilanggar adalah kebebasan beragama seseorang.
Terkait aksi bela Uighur yang akan digelar siang ini, ia berharap kegiatan tersebut berjalan aman dan kondusif. Agar pesan yang diusung dapat tersampaikan ke penjuru dunia.
"Aksi nanti saya harap berjalan tertib, damai, dan memang menjadi kegelisahan kita bersama bagaimana respons umat Islam Indonesia," ujar Kharis.
Diketahui, sejumlah organisasi masyarakat (Ormas) akan menggelar aksi bela Uighur di depan Kedutaan Besar China pada Jumat (27/12) siang. Ketua Persaudaraan Alumni (PA) 212, Slamet Ma'arif mengklaim bahwa aksi siang ini akan dihadiri 10 ribu peserta.
"Prediksi massa yang hadir kurang lebih 10ribu. Surat pemberitahuan sudah diterima Polda Metro Jaya," ujar Slamet lewat pesan singkat, Jumat (27/12).