Jumat 27 Dec 2019 01:29 WIB

Pengamat: Uji Materi Bisa Diajukan di Polemik Perda KTR

Judical review dapat diajukan bila ditemukan kekurangpuasan.

Rancangan Peraturan Daerah akan diproses menjadi Peraturan Daerah (ilustrasi)
Foto: Pinterest
Rancangan Peraturan Daerah akan diproses menjadi Peraturan Daerah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Untuk mengatasi peraturan daerah (perda) yang tidak sejalan dengan peraturan di atasnya, pihak yang dirugikan dapat mengajukan hak uji materi (judicial review). 

 

Hal ini disampaikan oleh pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah, menanggapi temuan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengenai sejumlah perda yang diduga menjadi penyebab lambatnya pertumbuhan investasi di daerah. 

 

"Judicial review atau hak uji materi dapat dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan atas suatu peraturan sepanjang bisa memberikan argumentasinya,” jelas Trubus kepada wartawan di Jakarta, Kamis (26/12). 

 

Trubus menjelaskan, salah satu perda yang hingga kini kerap menuai polemik yakni Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Menurut dia, harus ada semangat keterbukaan informasi seperti yang digaungkan Pemerintah Pusat dalam pembuatan semua perda.

 

Trubus menyampaikan, peraturan tentang pengendalian rokok sudah ada di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109/2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. 

 

“Sehingga aturan daerah, dalam hal ini perda yang dibuat, tidak boleh bertentangan dengan aturan yang ada di atasnya. Dalam PP 109 disebutkan bahwa kawasan tanpa rokok harus tetap menyediakan tempat bagi para perokok," ujar Trubus. 

 

Menurut Trubus, dalam berbagai aturan nasional baik PP maupun UU tidak ada larangan total rokok. Dia menyebut, PP 109/2012 diturunkan dari Undang-Undang Kesehatan yang didalamnya juga tidak melarang total aktivitas maupun kegiatan promosi produk tembakau. “Ini kan sangat bertentangan dengan aturan yang ada di banyak daerah saat ini," tegas Trubus. 

 

Menurut Trubus, UU Kesehatan sebagai induk peraturan bahkan tidak mengatur pelarangan total seperti yang banyak ditemui di Perda KTR beberapa kota. Masih menurut dia, produk hukum tersebut tidak jelas mengacu ke peraturan yang mana. 

 

Trubus menilai, hal seperti ini dikhawatirkan akan menjadi contoh pembentukan kebijakan publik yang tidak konsisten kepada masyarakat dan pemerintah daerah lain. Dia mencontohkan, Perda KTR yang bermasalah juga akan mempengaruhi ekosistem usahanya, karena dalam perda tersebut antara lain melarang toko memajang rokok. 

 

“Ini tentu akan berdampak kurang baik terhadap perekonomian di daerah dan berpotensi mempengaruhi pendapatan negara dari rokok," paparnya.

 

Apalagi, kata dia, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengakui adanya penurunan pendapatan negara dari industri rokok. "Menkeu sudah mengakui bahwa ada penurunan pendapatan negara dari sektor rokok," paparnya. 

 

Ia memperkirakan kondisi ini terjadi karena dampak penurunan produksi rokok sesudah proses pemilihan umum presiden beberapa bulan lalu. 

 

Menurut Trubus, saat ini industri hasil tembakau sudah mengalami kelebihan pengaturan (over regulated). Oleh karenanya, ketimbang membuat atau merevisi berbagai peraturan yang ada, pemerintah sebaiknya fokus meningkatkan edukasi mengenai produk tembakau kepada masyarakat. 

 

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menjelaskan, terdapat sejumlah faktor yang menjadi pokok Perda dinyatakan bermasalah. 

 

“Pertama, karena proses pembentukan Perda minim partisipasi publik. Kedua, dari segi muatan regulasi yang menimbulkan dampak ekonomi negatif seperti biaya produksi dan ketiga penanganan Perda oleh Kementerian Dalam Negeri yang dinilai belum optimal karena tidak adanya alat yang ditetapkan Pemerintah pusat untuk menyusun Perda,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement