REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Kasus kekerasan, baik seksual, fisik maupun psikis, yang terjadi di Wilayah Cirebon sepanjang 2019, masih tinggi. Masyarakat pun diminta untuk tidak takut melaporkan kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan mereka.
Hal itu terungkap dari data Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) RSD Gunung Jati. Sepanjang 2019, PPT menangani 162 korban kasus kekerasan. Dari jumlah itu, sebanyak 110 korban mengalami kekerasan seksual, 41 korban mengalami kekerasan fisik dan 11 korban mengalami kekerasan psikis.
Berdasarkan wilayahnya, sebanyak 103 korban berasal dari Kabupaten Cirebon, 55 korban merupakan warga Kota Cirebon, dan dari Indramayu serta Brebes masing-masing dua orang.
"Kasus yang paling dominan memang kekerasan seksual," ujar Ketua Harian Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Cirebon, dr Siska Muliadi, di kampus ISIF Cirebon, belum lama ini.
Dia mengungkapkan data itu dalam diskusi publik mengenai Urgensi Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan Launching Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan, yang digelar Women Crisis Center (WCC) Mawar Balqis bersama Jaringan Cirebon untuk Kemanusiaan.
Siska melanjutkan, dari 162 kasus kekerasan yang ditangani PPT RSD Gunung Jati, korban kekerasan didominasi usia anak-anak dan remaja. Rinciannya, usia 0-5 tahun sebanyak 14 korban, usia 6-10 tahun 30 korban, usia 11-15 tahun 57 korban, usia 16-18 tahun 28 korban dan usia dewasa sebanyak 33 korban.
Sementara itu, sama seperti PPT RSD Gunung Jati, kasus yang paling banyak ditangani WCC Mawar Balqis sepanjang 2019 juga berupa kekerasan seksual. Dari 140 kasus kekerasan yang mereka tangani selama 2019 di wilayah Cirebon, sebanyak 90 kasus di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual, 48 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan dua kasus trafficking.
"Ini sangat memprihatinkan," ujar Manager Program WCC Mawar Balqis, Sa’adah.
Melihat kondisi itu, Sa’adah menilai, RUU PKS menjadi kebutuhan yang mendesak untuk segera disahkan menjadi UU. Dia menilai, keberadaan UU itu nantinya akan bisa memberikan pencegahan dan penanganan yang lebih komprehensif terhadap korban kekerasan seksual.
"Kami mendesak agar DPR RI segera mensahkan RUU PKS menjadi UU," tegas Sa’adah.
Dalam kesempatan yang sama, anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina, mengaku prihatin dengan tingginya kasus kekerasan di wilayah Cirebon. Apalagi, dari berbagai kasus kekerasan yang terjadi, didominasi oleh kekerasan seksual.
"Kita prihatin dengan kondisi seperti itu. Kasus kekerasan, terutama kekerasan seksual, masih sangat tinggi di wilayah Cirebon. Tidak berlebihan juga kiranya, kalau Cirebon ini darurat kekerasan," kata Selly.
Selain itu, Selly juga menyoroti banyaknya kasus kekerasan yang dialami warga Kabupaten Cirebon, yang justru mendapatkan pelayanan dari RSD Gunung Jati Kota Cirebon. Menyikapi hal itu, dia meminta agar Pemkab Cirebon memperkuat peran dan fungsi P2TP2A Kabupaten Cirebon.
Selly menyatakan, akan terus berkomitmen untuk mengawal proses pembahasan RUU PKS di DPR RI agar segera disahkan menjadi UU. Dia menilai, keberadaan regulasi itu sangat diperlukan.
"Alhamdulillah RUU itu sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional prioritas tahun 2020," tutur anggota DPR RI dari Dapil VII Cirebon-Indramayu itu.
Selly menambahkan, kasus kekerasan menjadi persoalan serius yang harus segera ditangani. Selain membutuhkan regulasi, pemerintah daerah juga harus pro-aktif mencegah terjadinya kasus kekerasan di wilayah masing-masing.
"Masyarakat juga jangan takut untuk melapor jika menemukan adanya kasus kekerasan," ujar Selly.