REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir, mempersilakan AS membawa kasus Uighur ke PBB. Itu tentu bisa dilakukan jika AS benar-benar peduli kepada Uighur.
"Kami menuntut PBB, termasuk kalau AS peduli Uighur. AS bawa saja persoalan ini ke PBB," kata Haedar kepada wartawan di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, akhir pekan lalu.
Tapi, kata Haedar, di sisi lain AS jangan pula segan-segan membawa hal-hal yang dilakukan Israel di Palestina ke PBB. Tujuannya, tidak lain agar PBB benar-benar menjadi lembaga internasional yang objektif.
Haedar ingin pula lembaga-lembaga seperti PBB memberi sorotan tidak hanya kepada Uighur. Akan tetapi PBB juga sebaiknya menyoroti Rohingnya, Palestina, dan tempat-tempat lain dunia. Sikap itu penting demi terbuktinya keadilan.
"Artinya, menyoroti suatu kasus internasional tidak karena politisasi. Di sini pentingnya PBB, di sini pentingnya lembaga-lembaga internasional itu, kami pun meminta OKI berperan," ujar Haedar.
Ia menegaskan, Muhammadiyah mengecam tiap bentuk pelanggaran HAM, termasuk dalam beragama yang terjadi di manapun. Mulai dari Uighur, Rohingya, Palestina, dan tempat-tempat lain.
Muhammadiyah, lanjut Haedar, akan mencoba berperan sejauh yang bisa dilakukan seperti menawarkan diri jadi mediator. Untuk Uighur misalnya sudah disampaikan ke Kedutaan Besar RRC.
"Agar mereka membuka akses seluruh masyarakat dunia untuk bisa datang ke Xinjiang. Kalau di sana ada banyak yang kita tidak mampu masuk, itu selalu terjadi," kata Haedar.
Ia geram ada pihak-pihak yang menuding Muhammadiyah seolah bisa dibeli hanya karena mendapat undangan dari RRC. Ia berpendapat tudingan itu terlalu menyederhanakan dan merendahkan.
Untuk itu, ia menekankan negara memang harus hadir, termasuk hadir secara bilateral dan dalam konteks global. Karenanya, ia meminta agar pemerintah Indonesia menyampaikan sikap yang tegas terkait Uighur.
"Kita tahu hubungan antar negara ada relasi relasi yang tidak mudah. Di situ pemerintah kita harus berpijak ke Pembukaan UUD 1945, ingin mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia," ujar Haedar.
Jika UUD 1945 benar-benar dipegang, pemerintah tidak akan kesulitan dan tidak ada suasana psikologis berat menyampaikan sikap. Soal caranya seperti apa, masing-masing negara miliki caranya.