Ahad 22 Dec 2019 12:24 WIB

Mitos dan Fakta, Ular di Sekitar Kita

Dinas PKP Jakarta mencatat sejak Januari -17 Desember 2019 telah menangkap 216 ular.

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Seorang teman menceritakan masa kecilnya puluhan tahun lalu di desa. Saat itu ia dan beberapa teman bermain di sawah lalu salah satu dari mereka terpatuk ular. Entah takut dimarahi atau bagaimana,  anak yang menjadi korban gigitan ular, memilih tidak memberitahu orang tua ketika pulang dan langsung tidur.

Keesokan hari  tersiar  berita sang teman meninggal dunia, tidur selama-lamanya. Betapa kaget  orang tua yang bersangkutan ketika mengetahui kejadian sehari sebelumnya. Seandainya diberitahu, setidaknya mereka bisa melakukan ikhtiar  lebih untuk menyelamatkan nyawa sang buah hati.

Kebanyakan kita mungkin menganggap wajar  keberadaan  ular di  perdesaan. Nyatanya, beberapa waktu  ini,  berita serangan ular justru marak terjadi di perumahan kota-kota besar, terutama wilayah Jabodetabek. Di Depok ular muncul di saluran air, pemukiman, pasar dan sekolah. LSM Tabu (Taman Belajar Ular) selama bulan Desember  menangkap 75 anak kobra di Jabodetabek, sementara Depok menjadi kota dengan temuan ular terbanyak.

Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (PKP) Jakarta mencatat, sejak Januari sampai 17 Desember 2019 telah menangkap 216 ular atau dua kali lipat dibanding tahun lalu. Di Bulan desember saja 32 ular tertangkap dalam 17 hari terakhir.

Fakta-fakta di atas menunjukkan  ular ada di sekitar kita, dekat dan jelas cukup mengancam kehidupan manusia.

Walau tidak ada data akurat korban di Indonesia, namun perkiraan korban gigitan ular mencapai 135 ribu orang per tahun. Indonesia sendiri merupakan rumah dari  348 jenis ular, di mana  76 di antaranya berbisa. Pada skala  dunia, gigitan ular menelan korban hingga 4,5 juta orang setiap tahun dengan 2,7 juta korban luka serius dan korban jiwa sebanyak 125 ribu orang.

Ironisnya, sebagian besar masyarakat Indonesia tidak dibekali ilmu untuk menghadapi situasi darurat terkait ular. Di sekolah anak-anak belajar bagaimana penyerbukan, tahu ikan bernapas dengan insang, tapi tidak disiapkan untuk mengenali ular berbisa, bagaimana mengatasi gigitan ular padahal banyak di antara mereka mungkin akan membutuhkannya.

Sekali lagi ini menjadi catatan bagi pemegang kebijakan pendidikan untuk merevisi ulang kurikulum, memilah mana ilmu yang benar-benar penting dipelajari bukan sekedar belajar untuk tahu.

Dulu anak-anak tidak dibekali pengetahuan menghadapi gempa atau tsunami, padahal Indonesia adalah Negara dengan gempa terbanyak di dunia. Akibatnya setelah dewasa  banyak yangmenjadi korban karena tidak tahu bagaimana harus bertindak. Bahkan saat itu lembaga PBB harus turun tangan memberi edukasi.

Padahal ada NGO yang datang ke sekolah sekolah-sekolah hanya untuk memberi penjelasan bagaimana mencuci tangan dengan baik. Ketika saya sekolah dulu ada penyuluhan tentang sikat gigi, narkoba, dan lain-lain.

Menurut saya, ilmu yang dianggap perlu,  hingga dipaksakan untuk penyuluhan justru penting dan harus masuk ke kurikulum, tapi bukan menambah jam belajar, melainkan mengganti materi yang kepentingannya hanya  sekadar informasi untuk diketahui.

Kembali ke masalah ular.

Selama berpuluh tahun kita salah menangani gigitan ular, terutama mungkin karena belajar dari film. Banyak adegan karakter utama menyedot darah di daerah luka gigitan  ular padahal ini sangat berbahaya. Jika kebetulan terdapat luka di area mulut sama saja ular mematuk dari dalam mulut. Beberapa contoh penanganan luka gigitan ular yang salah antara lain menggunakan garam, ijuk, ikatan kencang, pengisapan darah di area tergigit, cross insisi, dan cara lainnya.

Hal lain yang perlu diluruskan, mayoritas orang mengira bisa ular menyebar melalui pembuluh darah, faktanya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkap 79 persen gigitan ular tidak melalui pembuluh darah melainkan lewat pembuluh getah bening. Sehingga, darah korban gigitan ular tak perlu disedot.

Karena itu tindakan pertama yang tepat dalam kondisi demikian, adalah DIAM atau IMOBILISASI. Pergerakan otot akan membuat kelenjar getah bening menyebarkan bisa ularnya. Pastikan korban tidak menggerakkan bagian yang tergigit. Jika tergigit di bagian tubuh bergerak, ikat dengan dua bilah kayu atau benda keras dari ujung jari hingga ujung sendi sampai mendapatkan perawatan.

Di Jabotabek, beberapa rumah sakit telah disiapkan untuk membantu penananan gigitan ular di antaranya di Jakarta Pusat: RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, RSPAD Gatot Subroto, RSUD Tarakan, RS Islam Cempaka Putih, Jakarta Utara: RSPI Sulianti Saroso, RS Pantai Indah Kapuk (PIK), di Jakarta Barat RSUD Cengkareng, RS Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Selatan: RSUD Fatmawati, RSUD Pasar Minggu, RSUD Jati Padang, RS Suyoto, Jakarta Timur, RSUP Persahabatan, RS Haji Jakarta.

Di Depok RSUD Kota Depok dan RS Hasanah Graha Afiah.

Semoga masalah mendesak terkait ular segera teratasi. Semoga pula kejadian  ini mendorong berbagai pihak untuk sejak dini  menyiapkan masyarakat supaya lebih memahami tentang ular yang ada di sekitar kita sehingga bisa hidup berdampingan dengan manusia tanpa saling membahayakan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement