Jumat 20 Dec 2019 17:37 WIB

Sheikh Sya’rawi dan Kontroversi Asma Sherif

Sheikh Sya’rawi lebih memilih berdakwah dan menolak menjadi Grand Sheikh Al Azhar.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Awal Desember lalu, masyarakat  Mesir —  terutama jagad media sosial —, dihebohkan oleh komentar seorang perempuan bernama Asma Sherif Moneer. Komentarnya menjadi trending topic selama beberapa hari. Bahkan namanya menduduki puncak daftar kata-kata yang paling banyak dicari di internet selama berhari-hari. Mereka ingin tahu siapa sebenarnya Asma Sherif ini kok berani-beraninya menyebut Sheikh Muhammad  Mutawalli Sya’rawi sebagai ekstremis.

Sheikh Sya’rawi merupakan ulama besar Al Azhar. Masyarakat Mesir sangat mengakrabinya, meskipun ia sudah almarhum sejak 21 tahun lalu (wafat 17 Juni 1998). Antara lain lewat ratusan buku dan video ceramahnya. Buku-bukunya juga sudah banyak diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Rekaman videonya bisa diikuti di banyak saluran, termasuk di Youtube.

Sejumlah posisi  penting di bidang dakwah dan pendidikan pernah ia lakoni. Dari direktur dakwah di Kementerian Wakaf Mesir, pengawas pengajaran bahasa Arab di Al Azhar, direktur di kantor Grand Sheikh Al Azhar, ketua delegasi dakwah Al Azhar di Aljazair, guru besar dan direktur pascasarjana  di Universitas King Abul Aziz di Arab Saudi, anggota Dewan Syuro, hingga Menteri Wakaf Mesir.

Yang menarik, Sheikh Sya’rawi pernah menolak tawaran untuk dipilih sebagai Grand Sheikh Al Azhar, sebuah jabatan yang sangat prestise, yang bahkan lebih bergengsi dari sekadar jabatan menteri. Alasannya, ia ingin fokus berdakwah, sebuah pilihan yang kemudian melambungkan namanya.

Ia mempunyai acara rutin kajian tafsir Alquran yang disiarkan langsung oleh stasiun televisi dari Masjid Husein, Kairo, setiap usai shalat Jumat. Meskipun tafsir Alquran terhitung bidang yang berat, tapi ia menyampaikannya dengan sangat menarik dan penuh gaya. Ciri khasnya: ia selalu memakai peci putih menyamping, bukan lurus dari depan ke belakang. Jubah khas Mesir yang dikenakannya tampak kedododoran.

Ketika berceramah yang selalu dipadati para jamaah itu, ia duduk bersila di atas kursi. Tubuh dan kepalanya bergoyang ke kanan dan ke kiri, ke depan dan belakang. Kedua tangannya digerakkan mengikuti irama suaranya yang naik turun.

Kelebihan lainnya, dan ini yang penting, ia mampu menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan cara yang sederhana, kontekstual, logik, dan dengan bahasa yang merakyat (‘aamiyah), sehingga mudah dipahami oleh tua, muda, dan bahkan anak-anak. Inilah sebabnya, kajian tafsir Sheikh Sya’rawi selalu ditunggu keluarga-keluarga Mesir, apalagi Jumat adalah hari libur.

Dari kajian tafsir Alquran di teve inilah nama Sheikh Sya’rawi melambung. Bukan hanya di Mesir, namanya juga sangat dikenal di negara-negara Arab. Ia pun dianggap sebagai salah seorang ahli tafsir yang paling sahih di abad modern. Julukannya adalah imam para dai (imam ad du’at). Pemerintah pun mengganjarnya dengan Penghargaan Republik Kelas Utama. Bahkan riwayat hidupnya juga dibuat sinetron.

Sheikh Sya’rawi lahir pada 15 April 1911 di Desa Daqadous, Provinsi Dakahlia, Mesir. Usia 11 tahun, ia sudah hafal Alquran. Pendidikan formalnya -- dari SD hingga SMA -- ia tempuh di lingkungan Al Azhar di kotanya. Sedang kuliahnya di Al Azhar pusat di Kairo.

Dengan latar belakang seperti itu, pantaslah bila banyak orang Mesir marah ketika Sheikh Sya’rawi dituduh sebagai ekstremis, sebuah sebutan yang sering diasosiasikan sebagai ‘berdekatan’ dengan istilah teroris. Apalagi yang menuduhnya dianggap ‘orang yang tidak tahu agama’ seperti Asma Sherif. Perempuan 33 tahun itu hanyalah bintang sinetron dan pembawa acara teve. Ia dianggap tidak mempunyai kapasitas untuk menilai seorang ulama.

Kontroversi Asma Sherif bermula ketika ia meminta tolong kepada para followernya di Facebook untuk menunjukkan nama-nama sheikh (ulama) yang kredibel dan bisa dipercaya. Salah seorang followernya  lalu menyebutkan nama Sheikh Mutawalli Sya’rawi.

Di akun Facebooknya, Amal Sherif kemudian berkomentar begini, ‘’Sepanjang hidupku, aku mendengar nama Sheikh Sya’rawi dari kakekku. Pada waktu itu aku tidak paham apa pun. Namun, ketika aku tumbuh dewasa dan menyaksikan berbagai videonya, aku tidak percaya bagaimana ia sangat ekstrem. Kata-katanya tidak cocok dengan logikaku.’’

Dalam beberapa menit saja, komentar Asma langsung menjadi tranding topic. Komentarnya membuat heboh jagad media sosial, dan kemudian pindah ke media mainstream. Nama Asma Sherif pun banyak dicari di internet. Sedikit yang membela, banyak yang mengkritik. Kritik yang sangat tajam.

Berbagai kritik itu memaksa perempuan putri seorang seniman Mesir, Sherif Moneer,  ini menutup semua akunnya di media sosial. Dalam salah satu kemunculannya di televisi, ia tampak menangis dan memohon maaf kepada masyarakat. Namun, permintaan maaf ini tampaknya belum cukup. Bagi para pengritiknya, Asma harus dihukum. Ia dinilai telah menghina ulama dan simbol umat Islam. Sheikh Sya’rawi dinilainya sebagai ‘garis merah’ yang tidak boleh dilanggar.

Seorang anggota parlemen Mesir mengatakan, komentar Asma tentang Sheikh Sya’rawi sebagai dungu dan tidak bertanggung jawab. Anggota parlemen lain menyatakan, tuduhan Asma kepada Sang Sheikh  hanyalah untuk mendongkrak ketenaran dan, sedihnya, dari orang yang sudah almarhum.

Sementara itu, bagi para pembelanya, apa yang dikatakan Asma dianggap sebagai ‘yang tidak perlu dipersoalkan’. Mereka mengajak masyarakat untuk terbiasa berbeda pendapat.

Hingga kini kontroversi soal Asma masih terus berlangsung. Belum diketahui bagaimana kasus ini akan berakhir. Di negara di mana terdapat Al Azhar, yang memproduksi ribuan ulama, kontroversi seperti yang dimunculkan oleh Asma tentu sangat menarik untuk terus diikuti. Terutama setelah munculnya media sosial, di mana setiap orang bisa menyampaikan pandangannya ke publik (followers).

Sheikh Sya’rawi ketika masih hidup sebenarnya juga tidak sepi dari berbagai polemik dan diskusi pemikiran. Ia mewakili pandangan Al Azhar yang moderat, berhadapan dengan sekuleris, liberalis, sosialis, ekstremis, orientalis, dan bahkan dengan para pengusung Islamophobia. Saya sangat menikmati mengikuti polemik pemikiran itu saat kuliah di Al Azhar pertengahan 1980-an.

Salah satunya ketika sastrawan besar Mesir, Taufik al Hakim, di masa tuanya menulis sebuah renungan dengan judul ‘al Hiwar ma’a Allah’ (Dialog dengan Allah). Renungan itu dimuat  setiap Senin di Al Ahram, koran terbesar di Mesir saat itu.

Renungan itu segera mendapat tanggapan dari Sheikh Sya’rawi dan ulama-ulama Al Azhar lainnya. Tanggapan mereka juga dimuat di Al Ahram. Jadilah polemik pemikiran yang mengasyikkan selama berbulan-bulan, yang seingat saya berakhir tanpa kesimpulan. Yakni antara kubu Taufik al Hakim yang pandangannya cenderung liberal dan ulama-ulama Al Azhar yang moderat.

Bukan hanya konten yang jadi perdebatan, namun juga judulnya. ‘Dialog dengan Allah’ dinilai sombong, lantaran mensejajarkan manusia dengan Sang Pencipta. Seharusnya judul itu ‘Dialog kepada Allah’ (al Hiwar ila Allah) yang bermakna memposisikan manusia sebagai hamba terhadap Sang Khalik. Namun, bagi kubu Taufik al Hakim, judul itu menunjukkan kedekatan manusia dengan Tuhannya.

Intinya, mengikuti perdebatan intelektual mereka, kita akan tercerahkan. Sebab, yang mereka bahas bukan hanya dari sisi lunguistik, tapi meluas hingga filsafat, sejarah, budaya, akidah, dan seterusnya. Tidak ada yang menyerang ke pribadi.

Sayangnya, di era media sosial sekarang ini, dan ini negatifnya, orang bisa berkomentar tentang siapa saja dan apa saja. Bahkan orang yang tidak mempunyai kapasitas akademis dan intelektual sekalipun. Dan, ini bisa terjadi di mana saja, termasuk di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement