REPUBLIKA.CO.ID, GUNUNG KIDUL -- Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro melakukan penanaman bibit unggul kayu putih di Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bibit ditanam di lahan seluas 10 hektare.
Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro mengatakan inovasi benih unggul kayu putih dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan solusi menuju swasembada minyak kayuputih. Komersialisasi benih unggul kayu putih ini mendapatkan dukungan pendanaan Deputi Bidang Penguatan Inovasi sejak 2017-2019.
"Jika pola kemitraan inti plasma ini dikembangkan di daerah-daerah lainnya, maka swasembada minyak kayuputih akan benar-benar terwujud," kata Bambang Brodjonegoro, Rabu (18/12).
Pengembangan industri benih unggul kayu putih hasil inovasi BBPBPTH ini melibatkan sinergi antara Industri PT. Eagle Indo Pharma dan PT. Sanggar Agro Karya Persada, pemerintah kabupaten, dan dua Kelompok Tani Hutan (KTH). Mereka mengelola lahan seluas 10 hektare melalui konsep percontohan inti-plasma.
Minyak hasil penyulingan tersebut telah siap untuk diserahkan kelompok tani sebagai plasma kepada PT. Eagle Indo Pharma sebagai inti. Penyerahan hasil minyak ini akan menandai komitmen PT Eagle Indo Pharma mendukung kemitraan inti plasma yang tidak hanya dikembangkan di Gunung Kidul, tetapi juga di Biak Papua, Bangkalan Madura, Bukit Kemuning Lampung dan Pekanbaru.
"Seluruh kebun plasma tersebut berpotensi menghasilkan minyak hingga 6 ton setiap sembilan bulan sekali atau setara dengan Rp 1,5 miliar. Berdasarkan harga saat ini sebesar Rp 265.000 per kilogram," katanya.
Bambang mengatakan minyak kayu putih merupakan salah satu bagian dari sejarah panjang obat-obatan tradisional di Indonesia. Pemanfaatan minyak kayu putih dalam pengobatan merupakan budaya masyarakat Indonesia yang telah berlangsung turun temurun.
Namun, kurangnya pasokan minyak kayu putih dalam negeri mendorong impor minyak subtitusi berupa eukaliptus dari China dengan nilai impor mencapai Rp 1 triliun.
Di samping itu, mahalnya harga minyak kayu putih telah mendorong penambahan bahan kimia lain seperti terpentin yang berdampak pada penurunan kemurnian minyak kayuputih yang beredar di masyarakat.
Saat ini kapasitas produksi nasional minyak kayu putih sebesar 400-600 ton per tahun. Kapasitas ini dihasilkan dari dua sumber utama, yaitu dari tegakan alam di Kepulauan Maluku dan kebun kayu putih yang tersebar di beberapa lokasi di Pulau Jawa.
Angka produksi ini masih jauh dari kebutuhan bahan baku industri kemasan minyak kayuputih dan farmasi dalam negeri yang mencapai 3.500 ton per tahun. Kekurangan bahan baku yang cukup besar ini selanjutnya dipenuhi melalui impor minyak substitusi berupa minyak eukaliptus dari China sebanyak 3000 ton per tahun dengan nilai mencapai Rp1 triliun rupiah per tahun.
Pada dasarnya, kayu putih merupakan tanaman yang mudah tumbuh secara alami di daerah dengan curah hujan 1.200-2.500 mm dan kesuburan tanah rendah, sehingga pada dasarnya mudah tumbuh di Indonesia. Namun, tegakan alam di Kepulauan Maluku dan kebun kayuputih di Pulau Jawa memiliki produktivitas daun dan rendemen yang rendah.
"Untuk memenuhi kebutuhan ini, solusinya adalah dengan memperbaiki kualitas bibitnya, sehingga minyak kayu putih yang dihasilkan produksi lebih besar. Saat ini, produktivitas rendah harus diubah menjadi tinggi, sehingga mampu memenuhi kebutuhan lokal," katanya.