REPUBLIKA.CO.ID, oleh Umar Mukhtar, Ali Mansur
JAKARTA -- Pengamat politik internasional Arya Sandhiyudha menilai pemerintah Indonesia perlu mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk tim pencari fakta independen terkait pelanggaran HAM di Xinjiang, China. Indonesia harus bisa membela hak Muslim Uighur atas nama kemanusiaan.
"Pernyataan (pemerintah Indonesia) soal pemberian hak kepada Uighur itu sebenarnya tepat, karena Uighur itu warga negara yang harus mendapat perlakuan sama dan mereka harus dibela haknya. Bukan hanya oleh orang yang punya kesamaan etik dengan mereka tapi karena ini tema kemanusiaan," ujar dia kepada Republika.co.id, Rabu (18/12).
Arya menerangkan, masalah yang menimpa warga Uighur di Xinjiang yaitu karena mereka tidak dianggap sebagai warga negara dan diperlakuan berbeda. "Nah itu yang sebenarnya kita perjuangkan melalui pencarian fakta," tutur Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Iniatiative (TIDI) itu.
Arya mengungkapkan, ada 12 subjek yang perlu diinvestigasi PBB terkait kondisi di China atas dugaan pelanggaran HAM terhadap etnik Uighur, di Xinjiang. Menurut dia, dugaan pelanggaran HAM yang penting diinvestigasi yakni terkait apa yang dilakukan pemerintah China atas warganya, mulai dari stigma rasis hingga penangkapan.
"Dari pengambilan paspor hingga ketidakadilan ekonomi. Dari pelarangan nama, hingga penghancuran masjid. Dari penyiksaan hingga pengambilan orang tahanan politik," ungkapnya.
Karena itu, bagi Arya, komunitas internasional harus mendesak China mengizinkan tim pencari fakta independen di bawah PBB untuk melakukan investigasi. "Kita harus mendesak pemerintah RRC mengizinkan tim pencari fakta independen melakukan tugas terkait dugaan pelanggaran HAM berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Xinjiang terhadap etnis Uighur," tuturnya.
Arya mengungkapkan, ada 12 fakta yang harus diinvestigasi. Pertama adalah tentang kesamaan perlakuan di depan hukum, hak-hak hukum dan konstitusi. Etnis Uighur, diduga tidak mendapatkan hak hukum, termasuk hak mendapatkan pembelaan hukum, persidangan yang adil, dan proses hukum sesuai sistem peradilan pidana.
Kedua, terkait dugaan penyiksaan alasan China belum mengubah sistem pidananya agar sesuai dengan Konvensi Menentang Penyiksaan. Akibatnya polisi secara hukum berhak menolak akses ke pengacara bagi tersangka, dan memperluas peluang instrumen penyiksaan tanpa pengawasan hukum.
Ketiga, Arya menyebutkan, hal lain yang perlu diinvestigasi adalah UU Anti-Terorisme China, yang disahkan pada 27 Desember 2015 lalu, termasuk definisi 'karet' tentang terorisme dan aktivitas teroris. Keempat, kebebasan beragama. Juni 2017 lalu, China mengeluarkan versi revisi UU hubungan keagamaan yang mengodifikasikan kontrol negara yang lebih besar atas praktik keagamaan. Termasuk mengontrol kegiatan keagamaan, dan pembatasan yang dirancang atas alasan mengekang ekstremisme dan mencegah infiltrasi.
"Pemerintah daerah di Daerah Otonomi Xinjiang Uighur (XUAR) mengeluarkan Perda tentang de-ekstrimifikasi, yang menargetkan etnik Uighur yang mayoritas beragama Islam," jelas Arya.
Wanita Muslim Uighur memandang keluar busnya di Urumqi. Sebanyak 40 persen dari populasi Xinjiang, yang jumlahnya 21,8 juta jiwa, adalah kelompok Muslim Uighur. Mereka hidup di bawah pengawasan ketat pemerintah.
Kelima, menginvestigasi tentang hak sipil dan hak politik etnis Uighur. Keenam, menginvestigasi kebebasan berkumpul dan berorganisasi etnis Uighur. Ketujuh, yakni terkait kebebasan bertindak. Warga etnik Uighur secara etnis dibedakan di pos-pos pemeriksaan dan secara rutin dihentikan agar ponselnya diperiksa.
Kedelapan, menginvestigasi kamp indoktrinasi politik atau yang disebut pusat Pendidikan ulang. China disebut telah mengurung sekitar satu juta lebih warga etnik Uighur di kamp tersebut.
Kesembilan, hak ekonomi. Dia mengatakan, industri yang berkembang pesat termasuk sektor jasa energi, konstruksi, ekstraksi sumber daya dan posisi pemerintah didominasi oleh China yang tinggal di wilayah tersebut. Sebagian besar Uighur dikeluarkan dari manfaat dan kesempatan kerja karena etnis dan bahasa.
Kesepuluh adalah hak etnis Uighur atas pendidikan. Menurutnya, pendidikan diskriminatif sengaja ditargetkan untuk warga etnik Uighur.
Kesebelas, partisipasi budaya. Ia mengungkapkan, sekitar 85 persen dari kota tua Kashgar, yakni sebuah kota yang berusia 2.000 tahun, dihancurkan Cjina antara 2009 dan 2017, dan menggusur ratusan ribu penduduk tanpa konsultasi. Penghancuran ini mengakibatkan hilangnya struktur fisik, termasuk rumah, toko dan situs keagamaan, serta pola kehidupan Uighur tradisional.
Keduabelas, yaitu kesehatan masyarakat dan perawatan kesehatan. Arya mengungkapkan, uji coba nuklir yang dilakukan di wilayah Lop Nor dari XUAR sejak 1964 hingga 1996 terus memengaruhi populasi Uighur dalam jumlah yang signifikan. Menurut Arya, radiasi dari tes nuklir itu mempengaruhi setidaknya 1,2 juta hingga 1,43 juta orang setelah uji coba nuklir.
"Kita harus mendesak PBB membentuk tim pencari fakta independen untuk dugaan kasus pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan di Xinjiang. Segera," imbuhnya.
Pendukung China
Arya Sandhiyudha menilai ada tiga hal yang membuat beberapa negara secara spontan mendukung kebijakan China terkait Uighur. Dia mengatakan, salah satunya adalah karena negara tersebut memiliki atau terikat utang pinjaman kepada China.
"Ada tiga faktor mengapa beberapa negara membela (China) secara spontan. Pertama negara dari Asia Afrika yang underdevelop country, biasanya mereka ada ikatan utang. China dalam posisi memberikan banyak bantuan pinjaman untuk pembangunan," kata dia.
Arya melanjutkan, faktor kedua yaitu karena negara yang bersangkutan tergolong kaya dan menjalin kerja sama dalam membangun megaproyek dengan China. "Faktornya bukan karena pinjaman utang tapi ada mega proyek, ada yang diberikan jaminan kerjasama untuk menangani stabilitas ekonominya yang goyang," ucapnya.
Faktor ketiga, papar Arya, lantaran negara tersebut punya kasus pelanggaran HAM dalam negeri yang serupa. Sehingga mereka khawatir diusut balik.
Untuk diketahui, beberapa negara yang mendukung China di Xinjiang, antara lain, Aljazair, Angola, Belarus, Burkina Faso, Burundi, Komoro, Republik Kongo, Republik Demokratik Kongo, Kuba, Korea Utara, Eritrea, Gabon, Laos, Myanmar, Nigeria, Filipina, Rusia, Somalia, Suriah, Venezuela, Zimbabwe, Arab Saudi, Pakistan, Mesir, Togo, Kamboja, Oman, Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, Kuwait, Kamerun, dan Bolivia.
Menurut Arya, Indonesia tidak memiliki tiga faktor itu. "Toh kita menghormati kedaulatannya, dan tidak ikut campur dengan pandangan politik apabila ada oknum Uighur yang terlibat separatisme, tentu kita tidak ikut dengan tema itu. Tapi sikap HAM-nya itu, dan diskriminasi terhadap salah satu etnik karena kita kan sama-sama menandatangani piagam PBB, nah itu Human Rights jadi isu," jelasnya.
Arya juga menyadari bahwa China juga berinvestasi di Indonesia. Bagaimana pun China adalah mitra yang sangat penting bagi Indonesia, sehingga faktor-faktor terkait bilateral dan geopolitik itu juga menjadi pertimbangan. Karena itu, menurut dia, risiko-risiko yang dapat merugikan Indonesia bila bersikap tegas kepada China soal Uighur juga perlu dipertimbangkan secara diplomatis.
"Kita pertegas bahwa secara prinsip itu kita tidak intervensi. Tapi kalau soal HAM itu ada kewajiban. Terkait sikap politiknya itu kita enggak ada urusan. Ini lebih kepada kewajiban konstitusional memperjuangkan hak dasar anak segala bangsa. Kalau terkait sikap politik dan keutuhan sebuah negara itu prinsip yang enggak akan kita ganggu," ungkapnya.
Arya berpendapat tekanan komunikasi internasional itu penting untuk mengetahui misalnya apakah betul ada diskriminasi terhadap etnik tertentu di Xinjiang. Apalagi selama ini belum ada upaya perbaikan sehingga harus ada usaha menghilangkan diskriminasi secara gradual.
"Melakukan inovasi pilihan-pilihan lain dalam menangani perbedaan pandangan atau budaya, menurut saya upaya ini hal wajar. justru yang tak wajar kalau tidak kita selesaikan," imbuhnya.
Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan perlakuan pemerintah China terhadap kelompok minoritas Uighur yang sangat memprihatinkan. Indonesia didesaknya harus segera bersikap.
"Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam sudah sepantasnya bila Indonesia bersuara keras dan lantang. Ini masalah tidak hanya masalah solidaritas Muslim tetapi HAM sudah diinjak-injak oleh pemerintah China terhadap Uighur," tegas Hikmahanto dalam keterangan tertulis.
Hikmahanto menambahkan, tidak seharusnya masyarakat Muslim di Uighur mendapat perlakuan yang melanggar HAM. Maka pemerintah perlu melakukan berbagai bentuk tekanan terhadap pemerintah China. Di antaranya, mempermasalahkan ke Dewan HAM PBB.
"Meminta Dewan Keamanan PBB untuk melakukan sidang darurat mengingat Indonesia adalah anggotanya," tutur Hikmahanto.
Kemudian, lanjut Himahanto, menggalang gerakan GNB untuk bersuara dan menentang tindakan pemerintah China atas perlakuan terhadap minoritas Uighur. Serta membatasi pinjaman dari China dan masuknya investasi China. Indonesia adalah pasar potensial bagi pemerintah dan pelaku usaha China.
Infograsi pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur di Xinjiang, China.