Rabu 18 Dec 2019 23:40 WIB

Pembangunan Papua Perlu Perspektif Masyarakat Adat

Di kota-kota besar Papua, ada relatif lebih banyak pendatang dibanding orang asli.

Suasana pembangunan jembatan Holtekamp, di Jayapura, Papua. (Ilustrasi)
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Suasana pembangunan jembatan Holtekamp, di Jayapura, Papua. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perspektif masyarakat adat Papua mengenai investasi perlu diperhatikan pemerintah agar bisa lebih fokus mempercepat pembangunan Papua pada masa mendatang. Masyarakat adat Papua tidak masalah dengan investasi dan pembangunan infrastruktur asal investor yang mau masuk nanti mengerti soal adat.

"Mereka tidak anti-pendatang dan tidak anti-investasi. Masyarakat adat cuma ingin kalau ada pihak yang ingin membuka lahan untuk usaha di wilayah adat itu memberitahu kegiatannya untuk apa dan sebagainya," ujar peneliti Tim Papua dan Politik Luar Negeri LIPI, Adriana Elisabeth, dalam seminar 100 Tahun Indonesia Jilid II, di Wisma ANTARA,Jakarta, Rabu (18/12).

Baca Juga

Ia menambahkan ketika investor mau mengubah fungsi lahan yang sudah diberikan izin oleh adat, semestinya harus disampaikan kepada masyarakat adat karena mereka ingin memperhatikan itu. Hal itu disebabkan sistem adat di Papua yang cukup ketat sehingga apa yang terjadi di tanah Papua harus selalu diperhatikan oleh masyarakat adat.

“Struktur adat di Papua memang seketat itu. Makanya sistem adat itu lebih menentukan daripada agama. Agama relatif cair di (Papua) sana, tidak terlalu. Namun soal adat sangat luar biasa harus diperhitungkan (pemerintah)," kata dia.

Hal semacam itu yang menurut dia menjadi permasalahan karena belum banyak dari investor, pemerintah, dan warga pendatang yang paham soal Papua. Persoalan sosial pun muncul terkait kebijakan otonomi khusus utamanya dalam konteks keberpihakan kepada orang Papua yang ada di dalam Undang-Undang Otonomi Khusus.

Perwujudan Otonomi Khusus Papua yang sebentar lagi akan berusia 20 tahun. Menurut Adriana, masih ada sejumlah sektor-sektor prioritas yang belum tercapai.

Hal itu kemudian berimbas kepada kondisi sosial masyarakat akibat perubahan demografi di Papua. Di kota-kota besar Papua, di antaranya Sorong, Jayapura, dan Merauke, ada relatif lebih banyak warga pendatang non-Papua dibanding warga asli Papua.

Menurut dia, jumlah warga non-Papua dibandingkan warga asli Papua ada di perbandingan 60 berbanding 40. Hal itu, kata dia, juga harus menjadi perhatian pada masa mendatang.

Ia ingin pada 2045 nanti persoalan konflik tidak muncul lagi ke permukaan sehingga pemerintah bisa fokus dalam membangun Sumber Daya Manusia. "Ini (tahun) 2045, mohon jangan sampai kita mengulang lagi cerita ini. Harus ada jalan ke depan bagaimana kita menyelesaikannya sehingga nanti pemerintah bisa fokus membangun SDM di Papua dan wilayah lainnya," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement