Rabu 18 Dec 2019 19:49 WIB

UU KPK Soal Dewan Pengawas Digugat ke MK

MK meminta pemohon memperbaiki gugatannya terkait dewan pengawas KPK.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bayu Hermawan
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta.
Foto: Republika/Amin Madani
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan atas uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) pada Rabu (18/12). Penggugat terdiri dari dua orang advokat mengajukan gugatan terhadap beberapa pasal terkait dewan pengawas (dewas) di UU KPK.

"Seperti kita ketahui media banyak memberitakan tentang ini, tetapi media pun mengatakan dewan pengawas KPK. Padahal di dalam undang-undang itu tidak ada yang namanya dewan pengawas KPK. Dewan pengawas itu ya KPK itu sendiri ternyata," ujar pemohon sekaligus kuasa hukum, Martinus Butarbutar dalam persidangan, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (18/12).

Baca Juga

Martinus menjelaskan, Pasal 21 ayat 1 huruf a UU KPK menyatakan, KPK terdiri atas dewan pengawas yang berjumlah lima orang, pimpinan KPK yang terdiri dari lima orang anggota KPK, dan pegawai KPK. Kemudian dalam Pasal 12 ayat 1 menyebutkan KPK berwenang melakukan penyadapan dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan.

Namun, ia mengatakan pada Pasal 12B disebutkan bahwa penyadapan dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari dewan pengawas. Dengan demikian, menurut Martinus, berdasarkan pasal di atas artinya KPK meminta izin dari dirinya sendiri karena dewan pengawas bagian dari komposisi KPK.

Ia menilai, keberadaan dewan pengawas dalam UU KPK tidak jelas. Dalam Pasal 37 B disebutkan bahwa dewan pengawas bertugas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK serta memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.

Menurut Martinus, dewan pengawas yang dimaksud tidak dapat dimaknai sebagai dewan pengawas KPK karena dewan pengawas itu berada di tubuh KPK itu sendiri. Sehingga, ia mempertanyakan bagaimana KPK dapat mengawasi dirinya sendiri.

"Dan berdasarkan pasal 37 B huruf a, artinya KPK mengawasi diri sendiri? Sungguh aneh UU KPK oleh hal tersebut. Siapakah dan apakah sesungguhnya dewan pengawas secara hukum dalam UU KPK ini?" kata Martinus.

Sementara itu, Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam nasihatnya mengatakan agar pemohon memperbaiki permohonan secara komprehensif. Majelis hakim menyarankan pemohon menjelaskan alasan-alasan yang mempersoalkan dewas secara rinci dalam permohonannya.

"Maka saya berkesimpulan permohonan Saudara itu kabur, enggak jelas. Oleh karena itu perlu diperbaiki secara menyeluruh, komprehensif," ujar Hakim Arief.

Arief menyimpulkan bahwa pemohon mempersoalkan dewan pengawas mulai dari cara pembentukan dan kewenangan dewan pengawas di UU KPK tersebut. Mengenai pengisian jabatan dewas melalui kekuasaan presiden, pemohon menganggap presiden dapat mengintervensi KPK itu sendiri.

Namun, Arief justru mempertanyakan juga pembentukan anggota atau pimpinan KPK. Padahal, pengisian jabatan pimpinan KPK selama ini pun melalui presiden. Presiden membentuk pansel yang menghasilkan nama-nama calon lalu diusulkan ke DPR dan dipilih DPR.

"Sekarang saudara, kalau begitu apakah selama ini Anda meragukan atau mempersoalkan pengisian keanggotaan/pimpinan KPK yang lima orang itu caranya bagaimana, caranya kan dibentuk oleh presiden," tutur Arief.

"Kan selama ini begitu. (Cara pemilihan) Dewas hampir mirip sebetulnya. Lha Anda kemudian dewas dibentuk dengan Peraturan Presidan kok mempersoalkan?" lanjut Arief.

Arief melanjutkan, jika demikian pemohon harus dapat menjelaskan alasannya mempersoalkan pemilihan dewas melalui kekuasaan presiden, padahal pemilihan pimpinan KPK pun juga dilakukan melalui presiden. Artinya, pemohon harus meyakinkan hakim konstitusi bahwa dewan pengawas di UU KPK sebagaimana permintaan permohonan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement