Senin 16 Dec 2019 20:05 WIB

Pedoman Baru Perawatan Autisme Dirilis

Riset menyebut selama ini sering terjadi keterlambatan diagnosa autis.

Rep: Gumanti Awaliyah/Wahyu Suryana/ Red: Indira Rezkisari
Seorang anak dengan autisme akan dinaikkan ke atas mainan sebelum perayaan Hari Autisme Sedunia di Beijing, Cina.
Foto: EPA
Seorang anak dengan autisme akan dinaikkan ke atas mainan sebelum perayaan Hari Autisme Sedunia di Beijing, Cina.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- American Academy of Pediatrics (AAP) mengeluarkan pedoman baru terkait perawatan autisme pada Senin (16/12). Pedoman ini bertujuan untuk membantu dokter dalam mengidentifikasi anak-anak yang berisiko autisme, juga supaya mereka segera mendapatkan perawatan sedini mungkin.

Riset yang diterbitkan dalam jurnal Pediatrics ini menyatakan bahwa selama ini seringkali terjadi keterlambatan diagnosa autisme. Melalui pedoman ini diharapkan para dokter bisa mendeteksi gejala autisme sedini mungkin bahkan ketika masih bayi.

Baca Juga

“Manfaat mengidentifikasi anak sedini mungkin adalah mereka kemudian dapat dirujuk untuk mendapatkan perawatan,” kata Dr. Susan Levy, seorang dokter anak di Children's Hospital of Philadelphia dan salah satu peneliti, dilansir Reuters pada Senin (16/12).

Levy yakin dengan deteksi dini dan perawatan yang lebih awal, penderita autisme bisa ditanggulangi secara lebih optimal. Pada 2007, ketika AAP menerbitkan dua dokumen pedoman terakhirnya, jumlah anak yang didiagnosis autisme di Amerika Serikat telah meningkat. Saat ini, autisme telah menyerang 1 dari 59 anak di AS, naik dari prevalensi 2007 yang hanya 1 dari 155 anak.

Pada saat itu, para ilmuwan telah mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor risiko autisme seperti faktor gen, lalu kondisi medis dan gejala perilaku yang terkait dengan autisme. Serta memiliki bukti terperinci tentang intervensi atau pengobatan mana yang paling berhasil.

"Sementara laporan ini benar-benar berfokus pada mendidik dokter dan penyedia layanan kesehatan lainnya tentang semua opsi dan masalah autisme. Untuk kemudian mendidik mereka dalam membuat rujukan awal," kata Levy.

Riset ini juga mendorong dokter untuk mengarahkan keluarga dalam mengintervensi anak autis, misalnya dengan mendesak keluarga memenuhi nutrisi anak. Riset ini juga menyoroti pada kebutuhan untuk skrining dan mengobati kondisi lain yang biasanya terjadi pada anak autisme.

Data CDC menyebut di tahun 2018 sebanyak 1 satu 59 di Amerika didiagnosa dengan autisme, rinciannya 1 di antara 37 anak laki-laki. Dan 1 dari 151 anak perempuan.

Anak laki-laki empat kali lebih banyak didiagnosa dengan autisme dibandingkan perempuan. Kebanyakan anak kerap kali baru terdiagnosa dengan autisme di atas usia 4 tahun, sementara autisme harusnya bisa dideteksi sejak usia 2 tahun.

photo
Seorang pria merawat anak dengan autisme di Beijing, Cina. Gangguan autisme lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki daripada perempuan.

Skrining dini

Organisasi advokasi yang berbasis di Amerika Serikat Autism Speaks mengampanyekan orang tua melakukan skrining atau pemeriksaan dini autisme. Menurut organisasi tersebut, skrining dapat dilakukan sejak anak berusia 16 bulan hingga 24 bulan.

"Autisme dapat didiagnosis sejak 2 tahun, namun di Amerika Serikat, usia rata-rata diagnosis adalah 5 tahun," kata Lisa Goring, Kepala Inisiatif Strategis dan Pejabat Inovasi di Autism Speaks.

Goring berharap proses skrining untuk autisme mampu mengoptimalkan program intervensi sejak dini oleh orang tua. Dengan skrining dini maka anak yang terdiagnosis autis bisa tumbuh dengan lebih optimal.

"Kami ingin memastikan bahwa orang tua diberdayakan dengan informasi yang cukup sehingga semua anak di-skrining, dan jika perlu dapatkan diagnosis dan diberi dukungan yang mungkin mereka butuhkan," kata Goring.

Tanda-tanda autisme pada anak kecil antara lain kehilangan kemampuan berbicara, mengoceh, menghindari kontak mata, senantiasa menyendiri, dan kesulitan memahami perasaan orang lain. Perkembangan bahasa anak autis juga lambat, resisten terhadap perubahan kecil dalam rutinitas atau lingkungan sekitar, serta minat yang sangat terbatas.

photo
Seorang anak austisme sedang belajar di Mumbai, India. April adalah bulan kesadaran gangguan autisme sedunia.

Autisme di Indonesia

Jumlah penyandang autisme di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun, Psikolog Klinis Universitas Gadjah Mada (UGM), Indria Laksmi Gamayanti menuturkan, jumlah tenaga profesional maupun terapis masih terbilang terbatas.

Saat ini belum ada angka pasti jumlah anak penyandang autisme di Indonesia. Pemerintah baru merilis data jumlah anak penyandang autisme, kisarannya 112 ribu jiwa pada 2010 lalu.

Sementara prevalensi autisme meningkat dari 1 banding 1.000 kelahiran pada awal 2000 menjadi 1,68 banding 1.000 kelahiran pada 2008.

Menurut Gamayanti, pemerintah memang sudah memberikan perhatian terhadap kebutuhan penyandang autisme. Salah satunya, dengan menyediakan pusat layanan autis.

Namun, rasio terapis dan anak penyandang autisme, menurutnya belum seimbang. Jumlah tenaga ahli yang ada untuk memberikan layanan terapi masih minim.

"Kebutuhannya cukup besar, terutama untuk tenaga ahli terapis dan tenaga pendidik, sehingga jumlahnya perlu ditingkatkan lagi," ujar Gamayanti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement