Senin 16 Dec 2019 16:24 WIB

Kemelut Jiwasraya: Rugi Rp 23 T, Akui tak Bisa Bayar Polis

Asuransi Jiwasraya mengaku mengalami kerugian hingga Rp 23 triliun.

Warga melintas di depan kantor Asuransi Jiwasraya di Jalan Juanda, Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Foto: Antara/Galih Pradipta
Warga melintas di depan kantor Asuransi Jiwasraya di Jalan Juanda, Jakarta, Rabu (11/12/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Intan Pratiwi

Direksi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) hari ini menghadiri rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam paparan direksi, Jiwasraya harus mengantongi kerugian sebesar Rp 23 triliun hingga September 2019. Salah satu harapan perusahaan tidak gulung tikar dalam waktu dekat adalah dengan kepercayaan nasabah.

Baca Juga

Direktur Utama Jiwasraya, Hexana Tri Sasongko mengakui mayoritas nasabah saat ini adalah korporasi BUMN yang menjaminkan pensiunan pada Jiwasraya. Ia menjelaskan, para nasabah inilah yang membuat perusahaan masih bisa bertahan hingga saat ini.

"Salah satu penyelamat kami karena nasabah adalah BUMN. Kalau mereka trust, tapi satu demi satu mereka rush, ya ini akan bubar," ujar Hexana di Komisi VI DPR RI, Senin (16/12).

Ia menjelaskan, 24 persen dari nasabah yang ada memutuskan untuk me-rollover polisnya sampai perusahaan bisa membayarkan polis. Sedangkan, sebagian kecilnya juga masih menanti perusahaan menyelesaikan persoalan kerugian ini.

Hexana memastikan, Jiwasraya tidak akan bisa membayar polis yang jatuh tempo pada Oktober hingga Desember pada tahun ini. Bahkan, ia tak berani menjanjikan tanggal kapan perusahaan akan menyelesaikan pembayaran tunggakan polis tersebut.

Hexana menjelaskan saat ini tercatat polis jatuh tempo Oktober hingga Desember sebesar Rp 12,4 triliun. Sedangkan total tunggakan total sebesar Rp 16,3 triliun. Hexana menjelaskan perusahaan tidak mempunyai dana segar yang senilai itu untuk bisa membayar polis jatuh tempo.

"Tentu tidak bisa dan saya tidak bisa memastikan tanggal berapa," ujar Hexana.

Hexana mengakui salah satu penyebab perusahaan gagal membayar polis kepada para nasabahnya adalah karena kesalahan strategi perusahaan dalam berinvestasi. Hexana menjelaskan kesalahan strategi adalah penempatan usaha yang semestinya mayoritas ditempatkan ke goverment bond, malah dimasukan ke dalam skema investasi reksa dana saham.

Berdasarkan rencana panjang perseroan, seharusnya goverment bond menjadi instrumen investasi paling besar yaitu sebesar 30 persen. Termasuk juga obligasi korporasi non-BUMN, instrumen Bank Indonesia (BI) 30 persen.

Sementara instrumen investasi saham, reksa dana maksimum hanya 20 persen. Terakhir, deposito minimum 10 persen.

Hal ini berbanding terbalik dengan fakta yang saat ini terjadi di tubuh perusahaan pelat merah ini. Bahkan, dalam fakta yang dipaparkan per tahun 2018, perseroan telah menanamkan investasi saham lebih dari 50 persen.

Sementara di intsrumen obligasi pemerintah, instrumen BI masing-masing sekitar 15 persen. Selanjutnya perusahaan investasi di properti sekitar 20 persen. Lalu deposito sekitar 5 persen.

"Lalu yang kedua, penempatan premi di luar kehati-hatian. Investasi digeser ke reksa dana saham. Sebab, kalau pakai goverment bond, itu enggak akan pernah ngejar janji return ke nasabah. Makanya, ke saham dan pencadangan saham. Pola penetrasinya enggak akan mencapai segitu," ujar Hexana.

Hexana menegaskan, perusahaan tetap akan melakukan pemulihan dari kemelut ini. Salah satu caranya adalah menggaet investor baik dalam dan luar negeri untuk bisa menyuntikan modal kepada perusahaan. Sayangnya, ia enggan merinci persoalan ini karena terikat kontrak disclosure agreement dengan para investor.

"Kami akan selesaikan dengan penuh komitmen. Kami sedang melakukan due dilligence dengan delapan investor," ujar Hexana.

Ia juga menjelaskan selain pemulihan dari segi bisnis, perusahaan juga akan melakukan restrukturisasi internal. Ia bahkan menjelaskan perusahaan juga perlu melakukan remodeling bisnis.

"Internal, prosesnya sudah lama. Ini harus restruk total dan remodeling bisnis. Biar profit dan tidak menjerat reatean tinggi. Digitalisasi, biar bisa efisien. DCG gak diterapkan dengan baik, jadi enggak ada kontrol yang baik. Fungsi manajemen resiko kita akan tingkatkan lagi," ujar Hexana.

photo
Seorang teller melayani nasabah di kantor pelayanan Jiwasraya.

Desakan DPR

Komisi VI DPR RI meminta kepada pemerintah dan aparat penegak hukum untuk mencekal seluruh direksi PT. Jiwasraya (Persero) periode 2015 - 2018. Direksi periode inilah yang menurut Komisi VI menjadi penyebab perusahaan merugi hingga tak mampu membayar polis yang sudah jatuh tempo dan menyebabkan ratusan nasabah merugi.

Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka dari Fraksi PDIP menilai kasus yang membelit perusahaan asuransi plat merah ini karena adanya kelalaian direksi dalam menjalankan perusahaan. Ia bahkan menilai, kasus yang membelit perusahaan saat ini merupakan aksi bersama dan dilakukan secara terstruktur.

"Saya mengusulkan rapat hari ini, merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan pencekalan terhadap direksi-direksi yang lama," ujar Rieke pada rapat dengar pendapat dengan direksi PT Jiwasraya, Senin (16/12).

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Aria Bima pun merekomendasikan pencekalan ini dan tertuang dalam kesimpulan rapat. Ia juga meminta kepada aparat penegak hukum untuk bisa melanjutkan proses hukum yang sudah berjalan dan mengusut tuntas persoalan ini.

"Komisi VI DPR RI meminta penyelesaian permasalahan polis bancassurance nasabah PT Asuransi Jiwasraya (Persero)lewat penegakan hukum tetep dijalankan dimulai dengan melakukan pencekalan terhadap direksi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) periode 2013-2018," ujar Aria.

[video] Reksa Dana Indonesia Dinilai Belum Maksimal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement