Kamis 12 Dec 2019 19:53 WIB

Kala Jokowi Bicara Hukuman Mati, Tetapi Berikan Grasi

Wacana hukuman mati yang dilontarkan Jokowi menuai pro dan kontra.

Presiden Joko Widodo memberikan sambutan seusai menyaksikan drama bertajuk Prestasi Tanpa Korupsi di SMKN 57 Jakarta, Jakarta Selatan, Senin (9/12).
Foto: Republika/Prayogi
Presiden Joko Widodo memberikan sambutan seusai menyaksikan drama bertajuk Prestasi Tanpa Korupsi di SMKN 57 Jakarta, Jakarta Selatan, Senin (9/12).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Dessy Suciati Saputri, Ali Mansur, Arif Satrio Nugroho, Antara

Pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia yang dirayakan lewat Pentas #PrestasiTanpaKorupsi di SMK Negeri 57 di Jakarta, pada Senin (9/12) lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapatkan pertanyaan kritis dari salah satu siswa. Siswa SMK bernama Harli Hermansyah mempertanyakan mengapa Indonesia tidak tegas terhadap koruptor.

Baca Juga

"Mengapa negara kita mengatasi korupsi tidak terlalu tegas? Kenapa tidak berani (seperti) di negara maju, misalnya dihukum mati? Kenapa kita hanya penjara tidak ada hukuman tentang hukuman mati?," tanya Harli.

Mendapat pertanyaan itu, Jokowi menyatakan, undang-undang tidak memberlakukan hukuman mati terhadap koruptor. Ia pun sempat menanyakan aturan hukuman koruptor kepada Menkumham Yasonna Laoly yang juga hadir dalam acara itu.

"Kalau di undang-undang ada yang korupsi dihukum mati ya dilakukan, tapi di UU tidak ada yang korupsi dihukum mati, tidak ada betul Pak Menkumham?" jawab Jokowi, seraya bertanya kepada Yasonna.

Yasonna lalu menjawab bahwa dalam UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya sudah mengatur aturan mengenai hukuman mati bagi pelaku korupsi tapi penerapannya terbatas. "Kalau korupsi, bencana alam dimungkinkan," kata Laoly.

Merespons hal itu, Jokowi pun  membuka kemungkinan penerapan hukuman mati bagi korupsi dalam ruang lingkup yang lebih luas lagi. Syaratnya, masyarakat berkehendak demikian.

"Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU Tipikor, agar itu (hukuman mati) dimasukkan, tapi sekali lagi juga termasuk yang ada di legislatif," kata dia.

Pernyataan Jokowi yang mewacanakan perluasan aturan hukuman mati bagi koruptor kemudian menyulut pro dan kontra di kalangan elite dan masyarakat sipil. Salah satu anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil pun ikut mengkritisi pernyataan Jokowi tersebut.

Menurut Nasir, hukuman mati untuk koruptor sudah diatur dalam UU Pemberantasan Korupsi. Tepatnya, pada Pasal 2 ayat 2.

"Jadi tidak harus kemudian apa kalau dikehendaki oleh masyarakat. Pak Jokowi menurut saya keliru, kalau mengatakan hukuman mati itu berdasarkan kehendak masyarakat," ujar Nasir di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/12).

Pernyataan Jokowi juga dinilainya hanya retorika. Sebab beberapa waktu lalu, mantan Gubernur DKI Jakarta itu justru memberikan grasi kepada mantan Gubernur Riau Annas Maamun.

Diketahui, Annas terjerat koruspi terkait dengan pembebasan lahan hutan menjadi perkebunan sawit di di tiga kabupaten berbeda sepanjang 2014 di Provinsi Riau. Atas pembebasan lahan tersebut, Anna Maamun menerima sejumlah uang suap.

Atas perbuatannya itu, Majelis Hakim PN Tipikor 2015, menyatakan Annas Maamun bersalah, dan menghukumnya dengan enam tahun penjara di LP Sukamiskin, Jawa Barat (Jabar), serta denda Rp 200 juta.

Annas Maamun, sempat melawan sampai pengajuan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) 2018. Tetapi, MA malah menambah hukumannya, menjadi tujuh tahun. Jokowi kemudian memberikan grasi atau potongan masa pidana menjadi enam tahun, sehingga Annas akan bisa bebas pada 2020.

"Ya oleh karena itu Presiden jangan hanya retorika saja, ya jangan mengatakan terkait hukuman mati tetapi dia mengoreksi terkait dengan pemberian grasi," ujar Nasir.

Beberapa hari setelah Jokowi mengeluarkan pernyataan, staf khusus presiden bidang hukum, Dini Purwono menjelaskan, pernyataan presiden terkait kemungkinan dilakukannya hukuman mati bagi koruptor di luar kasus-kasus itu jika rakyat menghendaki. Namun, hal itu juga harus melalui pembahasan di tingkat legislasi yang melibatkan DPR dan pemerintah dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. 

“Maksud dari jawaban Presiden “apabila rakyat menghendaki” adalah bahwa wacana hukuman mati untuk koruptor harus dibahas dalam proses legislasi yang melibatkan diskusi serta pembahasan antara DPR dan Pemerintah dengan memperhatikan aspirasi masyarakat,” jelasnya.

Dini mengatakan, dalam proses legislasi tersebut juga akan dilakukan asesmen atas hukuman mati untuk koruptor dengan memperhatikan pendapat masyarakat, efektivitas hukuman mati terhadap tingkat korupsi, fungsi pemidanaan apakah punitif atau rehabilitatif, hak dasar manusia untuk hidup, tingkat akurasi penyelidikan dan penyidikan, serta proses pemeriksaan dan pembuktian di pengadilan.

“Harus dipikirkan juga kemungkinan adanya novum/barang bukti baru yang bisa mengubah putusan pengadilan. Bagaimana kalau orang yang bersangkutan ternyata tidak bersalah namun sudah terlanjur dihukum mati,” tutur dia.

"Ya oleh karena itu Presiden jangan hanya retorika saja, ya jangan mengatakan terkait hukuman mati tetapi dia mengoreksi terkait dengan pemberian grasi," ujar Nasir Djamil.
photo
Grasi Annas Maamun

Pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar juga menilai, sikap Presiden Jokowi terkait hukuman mati untuk para pelaku korupsi sebagai sikap ambigu. Jokowi telah membuka peluang untuk penerapan hukuman mati kepada koruptor, tapi di sisi lain dia juga memberikan grasi pada terpidana kasus korupsi.

"Ini sikap yang ambivalen dan ambigu, tidak jelas arahnya. Jangan-jangan komitmen terhadap pemberantasan korupsi pun begitu, buktinya Pak Jokowi setuju Undang-undang KPK direvisi dan KPK dilemahkan," kritik Fickar kepada Republika.co.id, Rabu (11/12).

Selain itu, kata Fickar, hukuman mati yang diwacanakan Jokowi sudah diatur dalam Undang-undang Korupsi. Hukuman itu merupakan konsekuensi dari gambaran berat dan parahnya tindakan korupsi seseorang. Di antaranya harus memenuhi unsur kondisi tertentu, seperti residivis, bencana alam atau keadaan perang dan kondisi-kondisi ini jarang ditemui.

"Hukuman mati tidak menjamin terjadinya penjeraan pada para pelaku korupsi. Karena itu lebih manusiawi jika diterapkan hukuman seumur hidup. Bukti lainya hukuman mati narkoba tidak menyurutkan pelakunya," jelas Fickar.

Adapun, anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menyebut, aturan hukuman mati untuk koruptor pada kasus tertentu, seperti yang diungkapkan Presiden Jokowi sudah dimuat di perundang-undangan Indonesia. Namun, Arsul menyebut, spektrum hukuman mati itu bisa diperluas.

Arsul menjelaskan, dalam UU Pemberantasan Korupsi, terdapat lebih dari 20 spektrum tindak pidana korupsi dengan berbagai ancaman hukumannya. Termasuk, hukuman mati dengan faktor tertentu.

"Kalau misalnya ancaman pidana mati mau diperluas, ya itu bukan menjadi hal yang tertutup, kemungkinannya. Tapi memang perlu revisi UU Tipikornya," ujar Arsul di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Rabu (11/12).

Ia menyebut, wacana itu bukan hal yang baru. Salah satu aturan itu tertuang dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 ayat 2 mengatur hukuman mati sebagau salah satu opsi. "Dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan," demikian tertulis dalam pasal tersebut.

Menurut Arsul, keadaan tertentu itu ditentukan oleh hakim di pengadilan. Arsul mencontohkan, bisa saja hakim menentukan hukuman mati untuk koruptor yang tega korupsi di saat keadaan bencana alam, atau saat kondisi negara sedang genting.

Selain itu, besaran jumlah yang dikorupsi menurut Arsul bisa menjadi salah satu faktor penentu hukuman mati. "Tinggal kita kembali kepada hakim, tentu hakim kalau menjatuhkan itu pertama terpenuhi dulu syarat unsur yang ada di pasal misalnya di keadaaan bencana alam, dan genting," jelas Arsul.

[video] Hari Antikorupsi Sedunia, Wapres: Momentum Penyadaran Publik

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement