REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Campur aduk pemaknaan istilah radikalisasi dan ekstremisme mengundang perhatian khusus Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir. Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar, Haedar secata khusus mengupas tentang pemaknaan atas radikalisasi yang kerap didekatkan dengan agama.
Pidato pengukuhan guru besar yang diberi judul 'Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan: Perspektif Sosiologi' itu disampaikan Haedar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Kamis (12/12). Haedar mengungkapkan bahwa istilah radikal itu pada awalnya bermakna netral.
Haedar menyebut, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata radikal memiliki tiga makna.KBBI, kata radikal ada tiga arti. Ketiga arti tersebut adalah: mendasar, amat keras menuntut perubahan, maju dalam berpikir dan bertindak.
Namun kemudian, kata dia, dalam perspektif sosiologi, pemaknaan terhadap istilah radikal menjadi tidak netral. Pemaknaan terhadap istilah tersebut bergantung pada kalangan yang mengkonstruksi dan tujuannya.
Haedar pun menggugat kebiasaan yang mendekatkan radikalisasi pada Islam. "Bagaimana dengan radikalisasi di agama lain. Bagaimana dengan kekerasan di Tolikara, kekerasan di Wamena dan Nduga," tutur dia.
Dia pun mengingatkan bahwa kampanye deradikalisasi yang terjadi saat ini merupakan cara radikal yang ditempuh dalan mengatasi radikalisasi. Cara radikal ini, dinilainya malah akan menghadirkan radikalisme baru.
Karena itulah, dia mengusulkan agar deradikalisasi dikoreksi dengan gerakan moderasi. Gerakan moderasi, diyakininya memiliki sifat mencerdaskan. "Jika yang kita ucapkan terus radikalisasi, maka yang akan tertangkap di masyarakat adalah kata itu," tutur dia. Begitupun jika yang terus digaungkan istilah moderasi, maka publik akan lebih terbiasa dengan terminologi tersebut.