REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tuberkulosis masih menjadi penyakit yang bisa ditemukan di hampir setiap bagian dunia. Di tahun 2018, mengutip data WHO, penderita Tuberkulosis atau TB paling banyak ada di Asia Tenggara.
Lebih spesifiknya, 44 persen penderita TB terbanyak kasusnya ditemukan di Asia Tenggara, diikuti dengan kasus di Afrika sebanyak 24 persen dan di Pasifik Barat 18 persen. Indonesia merupakan negara yang cukup disorot dalam urusan penanganan TB.
Indonesia masuk ke urutan ketiga dalam daftar negara-negara dengan kasus TB mencapai dua per tiga total penderita TB dunia. Indonesia ada di bawah India dan China, lalu diikuti Filipina dan peringkat empat dan seterusnya Pakistan, Nigeria, Bangladesh, serta Afrika Selatan.
Untuk mengatasinya pemerintah tengah merancang peraturan presiden (perpres) untuk memberantas kasus Tuberkulosis yang tinggi di Indonesia. Ketua Forum Stop TB Partnership Indonesia (FSTPI) Arifin Panigoro, mengatakan perpres diperlukan agar kerjasama dan koordinasi antar kementerian untuk memberantas kasus tuberkolosis di Indonesia bisa berjalan lebih lancar.
"Satu hal tadi yang saya sampaikan juga untuk mempermudah kerjasama antar kementeriannya, sedang dirancang sekarang ini perpres khusus tentang Tuberkulosis. Supaya nanti kerjasama antara Menkes dengan menteri-menteri lainnya ini bisa lebih lancar gitu," ujar Arifin, Senin (9/12), di Kantor Kepresidenan.
Arifin berharap, perpres dapat meningkatkan peran kementerian terkait dan pemimpin daerah untuk menanggulangi penyakit ini. Menurut Arifin, Presiden memberikan perhatiannya terhadap penyakit Tuberkolosis di Indonesia.
Indonesia sudah lebih dari 20 tahun berperang melawan Tuberkulosis. Namun hingga kini penyakit itu masih menghantui masyarakat.
Di Indonesia Tuberkulosis dapat menelan korban jiwa hingga 300 orang tiap harinya. Artinya sekitar 100 ribu orang per tahun meninggal akibat Tuberkulosis.
Penanganan Tuberkulosis di Tanah Air memang belum cukup mumpuni untuk mengatasi masalah. Setidak belum ada standardisasi bagi rumah sakit menangani pasien Tuberkulosis. Penatalaksanaan pasien Tuberkulosis di rumah sakit juga dapat mengurangi penularan penyakit akibat bakteri Tuberkulosis secara signifikan.
Di daerah seperti Kabupaten Semarang, misalnya, masalah SDM menjadi kendala. Kepala Bidang (Kabid) Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinkes Kabupaten Semarang Hesty Wulandari mengungkap keterbatasan SDM membuat monitoring penyakit Tuberkulosis di 19 kecamatan jadi terhambat.
“Kendati sudah didukung oleh Sub Sub Recipient (SSR) Aisyiyah, kita memang masih kekurangan SDM untuk melaksanakan monitoring, apalagi Kabupaten Semarang wilayahnya cukup luas,” jelasnya di Ungaran Kabupaten Semarang, Senin (13/5).
Kendala lainnya terletak pada proses deteksi awal melalui pengambilan sampel dahak warga suspect TB. Karena itu Dinkes Kabupaten Semarang juga menyiapkan antisipasi melalui tes cepat molekuler (TCM).
TCM merupakan diagnostik kasus TB melalui pemeriksaan sampel dahak yang hasilnya bisa diketahui dengan cepat yang disiapkan di Puskesmas maupun Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas). Sejauh ini Puskesmas yang telah disiapkan untuk melakukan diagnosa TCM adalah Puskesmas Bergas, Kecamatan Bergas serta di Balai Kesehatan Masyarakat Ambarawa, Kecamatan Ambarawa.
“Kalau dari hasil pemeriksaan awal melalui sampel dahak tidak bisa ditemukan, maka akan kita rujuk ke dua lokasi TCM tersebut guna diketahui lebih lanjut,” tandasnya.
Pembahasan Perpes
Kementerian Kesehatan saat ini masih dalam pembahasan mengenai isi perpres. Apakah akan bersifat atributif atau regulatif.
"Atributif itu hanya menekankan saja, bahwa kita punya peta jalan (roadmap), kemudian di perpreskan. Kemudian dari perpers itu diharapkan daerah mengacu itu untuk melakukan tindakan-tindakan lanjutan," ujar Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Anung Sugihantono, Rabu (11/12).
Sedangkan kalau bersifat regulatif, dia melanjutkan, artinya menginisiasi masing-masing pihak harus melakukan apa. "Artinya menginisiasi kamu ngapain, kamu ngapain, kamu ngapain, dan saya ngapain," ujarnya.
Hingga kini, Anung menyebutkan pembahasan bersifat antara atributif atau regulatif belum tuntas dibahas oleh bagian Sekretaris Negara (Setneg). Ia menambahkan, meski arahnya menjadi perpres, Setneg masih membicarakan ke mana arah perpres tersebut.
Anung menjelaskan berbeda dengan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) yang bersifat intruksi presiden (inpres) yang lebih mengarahkan, perpres ini nantinya lebih mengikat karena dalam bentuk aturan akan diterapkan dalam jangka panjang.
"Kalau di Germas itu kan inpres, harus ini-harus ini yang bersifat jangka pendek. Sedangkan kalau perpres sebenarnya lebih mengikat dan sifatnya jangka panjang (long time)," ujarnya.
Anung melanjutkan, Tuberkulosis bukan hanya sekadar masalah kesehatan. Ada faktor ekonomi di baliknya.
"TB ini bukan masalah kesehatan tapi ini masalah sosio ekonomi, kultural, kesehatan ditempatkan oleh Pak JK disebabkan oleh akibat, karena berkaitan dengah rumah. Kalau menyelesaikannya hanya yang sakit diobati menurut beliau, tidak akan tuntas," katanya.
Karena itu, ia menjelaskan pekerjaan ini dibagi dua. Yaitu tanggung jawab kesehatan dan yang menjadi tanggung jawab non-kesehatan. Langkah ini diakuinya persis seperti penanganan balita bertubuh pendek (stunting) yang dibagi menjadi dua yaitu intervensi spesifik dan intervensi sensitif.
Tuberkulosis di Indonesia
Penderite Tuberkulosis bisa dibagi dalam beberapa kelompok. Salah satunya adalah Tuberkulosis laten atau Latent TBI Infection (LTBI).
Di Indonesia diperkirakan lebih dari 20 juta (kasus) TB laten. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Anung Sugihantono menjelaskan, TB laten terinfeksi kuman TB yaitu Mycobacterium tubercolosis dan sebenarnya menunjukkan reaksi tubuh. Tetapi karena daya tahan penderita yang baik maka penyakit ini tidak menunjukkan gejala. Istilahnya bakteri TB-nya sedang tidur atau dorman.
Padahal, dia melanjutkan, bakteri ini masih hidup. Dampaknya, Anung menambahkan, penderita terlihat seperti orang yang sehat.
Kasus TB laten bisa terjadi pada siapapun termasuk pada balita atau kelompok rentan yangs serumah dengan penderita karena penularannya lewat air liur (droplet). TB laten ini baru bisa terungkap setelah dilakukan tes mantoux atau tuberculin skin test (TST).
Jika terungkap infeksinya, dia melanjutkan, penderita bisa berobat ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan obat tanpa dipungut biaya dari Kemenkes. Kendati demikian, ia mengakui, biaya untuk mengikuti tes mantoux memang tidak murah. "Karena itu kasus TB di Indonesia yang terungkap baru sekitar 845 ribu selama 2019 ini," ujarnya.
Dia mengakui, angka temuan kasus TB yang terdeteksi itu baru sekitar 68 persen. Ia menjelaskan masih ada kasus TB yang belum ditemukan karena sebagian besar berobat secara pribadi atau privat. "Jadi belum bisa dihitung," ujarnya.
Jumlah kasus TB tahun ini diakui Anung meningkat dibandingkan temuan kasus TB di 2018 lalu yakni sekitar 843 ribu. Artinya ada pertambahan 2.000 kasus seiring dengan meningkatnya penduduk di Tanah Air.
Data WHO mencatat 1,1 juta anak di rentang usia 0-14 tahun menderita Tuberkulosis. Sebanyak 230 ribu anak, termasuk anak dengan HIV yang terasosiasi dengan Tuberkulosis, meninggal akibat penyakit tersebut di 2018.
Alkohol dan rokok meningkatkan risiko Tuberkulosis. Tahun lalu, 0,83 juta kasus Tuberkulosis baru di dunia terkait dengan penyalahgunaan alkohol dan 0,86 juta kasus Tuberkulosis dikaitkan dengan rokok.