Rabu 11 Dec 2019 18:49 WIB
Liputan Khusus Sepeda

Popularitas Brompton Buat Penggunanya Kurang Nyaman

Sepeda lipat Brompton mulai populer di Indonesia sejak lima tahun lalu.

Petugas Bea Cukai menyiapkan barang bukti pada konferensi pers terkait penyelundupan motor Harlery Davidson dan sepeda Brompton menggunakan pesawat baru milik Garuda Indonesia di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (5/12).
Foto: Antara
Petugas Bea Cukai menyiapkan barang bukti pada konferensi pers terkait penyelundupan motor Harlery Davidson dan sepeda Brompton menggunakan pesawat baru milik Garuda Indonesia di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (5/12).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Arif Satrio Nugroho

JAKARTA -- Bimo Aji Pamungsu bergegas membuka lipatan sepedanya di Kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta pada Senin (9/12) malam. Salah satu anggota perkumpulan Sepedalipatku itu baru saja selesai melakukan kopi darat bersama sesama pekerja yang menggunakan sepeda lipat di kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.

Baca Juga

Kurang dari dua menit, sepeda bermerek Brompton itu sudah siap dikayuh. "Simpel, dan cepat," kata Bimo. Karyawan salah satu perusahaan swasta di bilangan Sudirman itu pun segera bertolak menuju rumahnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Diakui Bimo, harga Brompton tak bisa dibilang murah. Di pasaran, Brompton baru bisa dibawa pulang dengan harga sekitar Rp 30 juta. Edisi khusus, harganya bisa naik drastis. Namun, menurut Bimo, harga tersebut sebanding dengan yang ditawarkan.

Ia menyebut, Brompton sangat nyaman digunakan. Rasio dan ukuran Brompton disebutnya pas dengan posisi berkendara. Material sepeda yang terdiri dari 30 persen baja pun dinilai kuat. "Harga memang tidak bohong, saya pakai Brompton tahun 2012 dan sampai dengan saat ini masih nyaman digunakan," katanya saat berbincang dengan Republika.co.id.

Senada dengan Bimo, karyawan di kawasan Gatot Subroto Jaksel Bhakti juga mengaku memilih Brompton karena alasan, lipatan akhir sepeda tersebut paling ringkas. Ia bekerja di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Sedangkan rumahnya di Kembangan, Jakarta Barat. "Kadang kan capek banget, jadi kalau capek gue tenteng, naik Busway deh," ujar Bhakti.

Tak banyak yang tahu secara rinci kapan sepeda lipat masuk ke Indonesia. Namun, belakangan ini popularitas sepeda lipat bisa dibilang melonjak. Terlebih, paparan media massa terhadap aktivitas bersepeda di perkotaan juga meningkat.

Sepeda lipat disebut sudah mulai masuk ke Indonesia di medio 1980-an. Namun, popularitasnya baru merangsek naik dalam satu dekade terakhir, terutama saat gerakan bersepeda untuk kerja mulai masif. Bukan Brompton, merek-merek lain terlebih dahulu beredar di pasar Indonesia, misalnya Dahon.

Penggagas Gerakan Bike2Work Toto Sugito menyebut pada tahun 2006, sepeda lipat sudah banyak dijumpai di pasaran. Komunitas Bike2Work juga pernah berkolaborasi dengan produsen sepeda lokal Polygon, untuk memproduksi sepeda lipat antara tahun 2007 sampai 2009. "Sepeda lipat itu populernya baru 2010-an, saat itu hampir tiap merek ada. Banyak kok," ujar Toto.

photo
Penggagas gerakan Bike2Work, Toto Sugito.

Belakangan ini, diakui Toto, Brompton memang menjadi primadona di Indonesia. Padahal, Brompton yang merupakan bikinan Inggris sudah populer terlebih dahulu di Eropa. "Tapi di Indonesia baru 4 sampai 5 tahun ini," ujarnya melanjutkan.

Belum lama ini, terungkapnya kasus penyelundupan oleh Direktur Utama Garuda Indonesia I Gusti Ngurah Askhara juga menambah popularitas sepeda asal Inggris itu meningkat. Askhara menyelundupkan Brompton varian Explore di pesawat pelat merah, bersama motor Harley Davidson varian Shovel. Tindakan itu berbuah pemecatan dirinya oleh Menteri BUMN Erick Thohir.

Toto Sugito mengakui, adanya kasus penyelundupan sepeda oleh Dirut Garuda itu pun menaikkan pamor sepeda lipat, khususnya merek Brompton. "Saya setiap hari pakai, dan kebetulan Brompton, tapi bukan berarti saya maniak Brompton," ujar Toto.

Terlepas dari fungsi Brompton yang prima, diakui Toto, saat ini sepeda rancangan Andrew Ritchie pada tahun 1975 itu memiliki penilaian tersendiri di mata para pesepeda. Ia menyebut, tak jarang pembeli sepeda yang akhirnya membeli Brompton hanya untuk 'gaya-gayaan' dan kepentingan gaya hidup.

"Karena juga tidak sedikit orang pengen punya sepeda mahal hanya untuk bergaul dan gengsi atau sebagainya, tapi dipakai jarang. Ya tidak salah kok, orang punya duit ya beli saja,"  ujar Toto.

Menurut Toto, tak ada yang salah dari gaya hidup tersebut. Di sisi lain, justru diharapkan gaya hidup bersepeda semakin populer di mata masyarakat. "Tentu banyak sepeda lain yang lebih terjangkau, masyarakat tidak perlu khawatir," ujarnya.

Ketua Asosiasi Industri Persepedaan Indonesia (AIPI) Rudiyono menyebut, geliat sepeda lipat cukup dirasakan oleh produsen sepeda lokal. Ia mengaku ada peningkatan produksi yang diserap pasar. Tahun ini, sebanyak 2 sampai 2,5 juta sepeda lokal terjual.

photo
Bimo Ajie Pamungsu, salah satu pengguna sepeda Brompton

Popularitas sepeda lipat, kata Rudiyono menjadi salah satu pemicunya. "Belakangan ini, teman teman anggota industri sepeda makin banyak produksinya di situ (sepeda lipat)," kata dia.

Rudiyono menyebut, produksi sepeda lokal sama sekali tak terganggu dengan popularitas merek Brompton. Menurutnya, Brompton memiliki target pasar yang berbeda dengan para produsen lokal. "Tidak pengaruh, karena pangsanya kan berbeda, kelas atas," ujar Rudiyono.

Justru, lanjut Rudiyono, popularitas Brompton mendorong produsen sepeda lokal untuk memproduksi sepeda lipat. Menurut dia, banyak produsen lokal yang membuat sepeda lipat dengan desain menyerupai Brompton, dan disukai pasar.

"Memang sepertinya Bromptonnya itu yang menarik industri dalam negeri untuk memproduksi sepeda lipat. Ya karena industri dalam negeri biasa kan, mengikuti pasar," ujar Rudi.

Kekhawatiran Pemakai Brompton

Eksposur masif pada sepeda Brompton ternyata menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi pemiliknya. Toto yang sudah bertahun-tahun memakai Brompton merasa kurang nyaman dengan berbagai isu yang ditimbulkan akibat kasus Dirut Garuda, terutama pandangan negatif yang kerap muncul.

Lebih lagi,  Ia mendengar kabar burung bahwa pemerintah hendak mengenakan pajak atas sepeda Brompton. "Padahal bukan Brompton saja yang mahal, kalau kita bicara sepeda itu road bikes dan MTB itu banyak yang di atas 100 juta. Gara-gara masalah itu, kita yang tadinya benar-benar hobi ya jadi tidak nyaman lagi," ujarnya.

Sementara itu, bagi Bimo, faktor keamanan lebih menjadi konsentrasi. Ia khawatir, paparan berlebih atas harga sepeda lipat Brompton membuat oknum kriminal 'sadar' akan harga Brompton yang tak bisa dibilang murah.

"Takutnya malah (kriminal) justru mengincar sepeda brompton. Jadi dampaknya, keamanan kita pengguna sepeda Brompton justru. Apalagi media sedang ramai membicarakan harga sepeda itu," ujar Bimo menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement