Rabu 11 Dec 2019 13:04 WIB

Ini Syarat MK Soal Eks Koruptor Ikut dalam Pilkada

MK memutuskan eks terpidana bisa ikut pilkada, lima tahun setelah jalani masa hukuman

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bayu Hermawan
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman di gedung MK (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman di gedung MK (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) terkait masa tunggu bagi mantan terpidana maju pilkada. MK memutuskan, mantan terpidana termasuk kasus korupsi baru boleh maju pilkada jika telah melewati masa tunggu selama lima tahun sejak selesai menjalani hukuman penjara.

"Amar putusan, mengadili dalam provisi, mengabulkan permohonan provisi para pemohon untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (11/12).

Baca Juga

Para pemohon perkara ini diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan nomor perkara 56/PUU-XVII/2019. Keduanya meminta MK memutuskan ada jeda bagi mantan terpidana, khususnya korupsi yang ingin maju pilkada yakni selama 10 tahun usai menjalani pidana pokok.

Namun, MK tak mengabulkan usulan masa jeda 10 tahun karena tak beralasan menurut hukum. MK kemudian memutuskan bagi mantan terpidana kecuali terhadap pidana kealfaan dan tindak pidana politik yang mencalonkan diri di pilkada telah melewati jangka waktu lima tahun setelah menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Sehingga, MK memutuskan perubahan bunyi pada Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang dipaparkan Hakim Anwar dalam amar putusannya.

"Calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut; (g) 1. Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih kecuali terhadap pidana yang melakukan tindak pidana kealfaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang berkuasa," jelas Anwar.

"2. Bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana. Dan 3. Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang," lanjutnya.

Dalam pertimbangannya, anggota Majelis Hakim Konstitusi Suhartoyo menjelaskan, berdasarkan fakta empirik dengan mengembalikan ke masyarakat untuk memilih calon pemimpin, ternyata tidak sepenuhnya menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegritas. Suhartoyo melanjutkan, kepala daerah terpilih yang pernah menjalankan masa pidana yang menjadi cakada hanya mengambil alternatif mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, ternyata mengulangi kembali melakukan tindak pidana.

"Dengan kata lain, orang yang bersangkutan telah menjadi pelaku kejahatan berulang atau residivis," kata Suhartoyo.

Menurutnya, demokrasi dengan kenyataan seperti itu, hakim konstitusi tidak memberikan toleransi terhadap keadaan tersebut. Sebab, kata dia, demokrasi bukan berbicara tentang perlindungan hak-hak individual, tetapi juga ditopang dengan nilai-nilai moralitas.

"Diantaranya nilai kepantasan (probalityl), kesalehan (piousness), kewajaran (fairness), kemasukakala (reasonableness), dan keadilan-justice," ujar Suhartoyo.

Ia pun menjelaskan, pihaknya tak menerima permintaan 10 tahun karena menyesuaikan mekanisme lima tahunan dalam pemilihan umum. Hal itu juga sebelumnya telah diatur ebagaimana putusan MK Nomor 04/PUU-XII/2009. "Dipilihnya jangka lima tahun untuk adaptasi, bersesuaian dengan mekanisme lima tahunan dalam pemilihan umum atau pemilu di Indonesia. Baik pemilu legislatif, pemilu Presiden dan wakil presiden, dan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement