Rabu 11 Dec 2019 02:49 WIB

Server Indonesia: Radikalisme Juga Tumbuh karena Kemiskinan

Server Indonesia mengatakan kemiskinan juga jadi pemicu tumbuhnya radikalisme.

Rep: Febryan. A/ Red: Bayu Hermawan
Radikalisme(ilustrasi)
Foto: punkway.net
Radikalisme(ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Society Against Radicalism and Violent Extremism (Serve) Indonesia, Dete Aliah mengatakan radikalisme dan terorisme tumbuh subur di masyarakat yang tidak sejahtera. Ia menilai, penanganan radikalisme dan terorisme juga harus disertai perbaikan kualitas hidup masyarakat.

"Faktornya tidak hanya karena didoktrin pemahanan agama yang salah. Tapi, kemiskinan dan ketidakadilan yang dirasakan masyarakat akan membuat mereka mudah terpengaruh ideologi radikalisme dan terorisme," kata Dete ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (10/12).

Baca Juga

Dete mengatakan, penyebaran radikalisme dan terorisme juga menggunakan narasi ekonomi. Ia mencontohkan, narasi yang disebarkan oleh Bahrun Naim, orang yang diduga keras sebagai dalang aksi serangan Jakarta 2016.

Bahrun, kata Dete, lewat akun media sosialnya, malah menyebarkan narasi ekonomi. Bahkan bukanlah narasi yang bombastis. Karena, ia hanya menyebarkan narasi bahwa di Suriah tidak ada sama sekali pungutan biaya parkir kendaraan.

"Kalau tidak ada pungutan seperti itu di Indonesia, maka Indonesia akan sejahtera," kata Dete mencontohkan unggahan Bahraum Naim yang pernah dibacanya.

Ia juga mencontohkan bagaimana kebijakan politik jadi landasan seseorang menjadi teroris. Hal itulah, kata dia, yang dirasakan oleh pelaku Bom Buku tahun 2011 lalu. Ia menjadi teroris karena rumahnya dulu digusur pada era Orde Baru.

"Kemarahan dan kesedihannya melihat rumahanya digusur dan itu membekas sangat kuat. Itu pun menjadi lahan subur bagi masuknya paham terorisme," kata Dete.

Untuk itu, Dete berharap penanganan radikalisme dan terorisme juga harus disertai perbaikan kualitas hidup masyarakat. "Praktik ekonomi dan politik yang tidak lurus juga adalah lahan suburnya. Maka negara ataupun pemeritah harus memperbaiki diri," ucapnya.

Sebelumnya, hasil Survei BNPT menemukan bahwa terjadi penurunan potensi radikalisme secara nasional. Indeks potensi radikalisme 2019 berada di angka 38,43 (skala 0-100). Sedangkan tahun 2017 ada di angka 55,12.

Artinya, potensi radikalisme secara nasional mengalami penurunan sebesar 16.69 poin.  Namun, Dete menilai tindakan radikalisme dan terorisme tidaklah menurun. "Saya melihat masih sama, kok," ucapnya.

Ia malah melihat yang meningkat itu adalah penyebaran konten kontra narasi terorisme di sosial media. Terlepas dari itu semua, Dete cendrung sepakat dengan hasil Survei BNPT yang menyebut bahwa kearifan lokal berpotensi untuk mencegah radikalisme dan terorisme. Namun, potensi itu belum optimal dimanfaatkan.

"Kearifan lokal itu memang sangat kuat menangkal terorisme karena banyak tradisi masyarakat Indonesia itu yang membuat setiap orang itu bisa saling berinteraksi," ujarnya.

Dete mengatakan, tradisi sederhana yang dapat menangkal radikalisme dan terorisme adalah gotong royong. Sebab, gotong royong membuat setiap masyarakat saling berinteraksi, berbagi pekerjaan dan tanggung jawab. Sehingga, tindakan intoleransi, yang menjadi tahapan awal sebelum radikal, bisa dihilangkan.

"Coba saja kalau masyarakat urban di setiap komplek rumahnya bisa bergotong royong. Maka kebencian pada yang berbeda sebagaimana yang didoktrinkan kelompok radikal dan teroris akan bisa ditangkal," katanya.

Selain itu, ia juga berharap agar kearfian lokal lainnya yang dimiliki setiap daerah di Indonesia tetap dilestarikan dan dijaga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement