REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan Indonesia membutuhkan perubahan radikal di sektor energi. Hal ini untuk mencapai target pembangunan rendah karbon.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Maxensius Tri Sambodo saat memaparkan hasil penelitian Model dan Strategi Pembangunan Rendah Karbon di Sektor Energi di Jakarta, Selasa (10/12). Dia mengatakan fakta pertama dari hasil penelitian menunjukkan sektor energi khususnya pembangkit listrik terjebak pada sumber karbon intensitas tinggi dan di sisi lain energi terbarukan belum berkembang seperti yang diharapkan.
Hal tersebut mengacu pada OutlookEnergi 2019 dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), yang mencatat porsi bauran pasokan energi primer Indonesia periode 2008-2018, dengan konsumsi minyak pada 2008 mencapai 48,63 persen dan 2018 turun menjadi 38,81 persen. Lalu, konsumsi gas juga menurun dalam 10 tahun dari 24,08 persen pada 2008 menjadi 19,67 persen pada 2018.
Sedangkan porsi energi baru terbarukan (EBT) pada2018 naik menjadi 8,6 persen dari sebelumnya 4,37 persen pada 2008. Namun, konsumsi energi dari batubara justru meningkat pesat dalam 10 tahun terakhir, dari 22,92 persen pada 2008 menjadi 32,97 persen pada 2018.
Jika melihat Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang memasang target porsiEBTsebesar 23 persen pada 2025, maka dalam tujuh tahun ke depan artinya harus mampu naik 17 persen, sehingga, menurut Maxensius, perlu langkah radikal untuk mencapai target tersebut.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028,kapasitas terpasang pembangkit listrik di Indonesia dari 2004 ke 2018 terlihat jugaada kenaikan signifikan untuk porsipembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahanbakar batubara menjadi56,7 persen. Jika pada 2004 kapasitas terpasang PLTU batubarahanya 9.750 MW, maka2018 sudah mencapai 31.578 MW.
Penggunaan energi fosil lainnya untuk pembangkit listrik pun mengalami peningkatan, seperti dari gas, combine cycle, diesel, dan gas engine yang meningkat di kisaran 1.600 MW hingga 4.300 MW dalam kurun waktu 14 tahun tersebut.
Sementara, perkembangan kapasitas terpasang pembangkitEBTmemang mengalami peningkatan dansemakin beragam tidak hanya hidro dan panas bumi saja, namun bertambah dengan angin, mikrohidro, minihidro, surya, waste, biogas, dan biomassa.
Tambahan kapasitas EBT terpasang terbesar dalam waktu 14 tahun yakni pembangkit listrik dari air yang pada 2004 mencapai 3.200 MW menjadi 5.370 MW pada 2018.
PembangkitEBTpendatang baru yang bertambah cukup besar pada 2018 adalah biomassa yang mencapai 1.758 MW.
Namun, meski jumlah bauran EBT semakin naik danberagam, sumbangannya untuk total penambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik di Indonesia dalam 14 tahun dari 2004 ke 2018 hanya 0,16 persen.
Berdasarkan data Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA), harga listrik dari beberapa sumber pembangkit EBT mengalami penurunan sangat signifikan dalam periode delapan tahun, dari 2010 ke 2018.
Listrik dari panel surya (solar photovoltaic) pada 2010 seharga 0,371 dolar AS per kWh maka pada 2018 menjadi 0,085 dolar AS per kWh. Sedangkan, listrik dari PLTAmeski mengalami peningkatan, namun masih menjadi termurah di antara EBT lainnya, seperti panas bumi, bioenergi, dan angin.
Harga listrik dari PLTA mencapai 0,037 dolar AS per kWhpada 2010 menjadi 0,047 dolar AS per kWhpada 2018. Harga beli EBT oleh PT PLN dibatasi maksimal 85 persen dari biaya pokok produksi (BPP) listrik di setiap wilayah.
Jika harga BPP nasional pada 2018 mencapai Rp1.160,89 per kWh, maka harga pembelian 0,07 dolar AS per kWh (dengan kurs Rp14.181 per dolar AS), sehingga EBT yang mampu bersaing hanya pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), lepas pantai, PLTA,dan bioenergi. Namun demikian, ia mengatakan satu-satunya yang dapat mengalahkan harga listrik dari PLTU batubara hanya pembangkit yang memiliki harga di bawah 0,05 dolar AS per kWh.