Senin 09 Dec 2019 07:16 WIB

Polemik Pencabutan Materi Khilafah-Jihad Kurikulum Madrasah

Pendekatannya yang perlu diubah supaya anak-anak tidak sampai lupa sejarah.

 Ilustrasi Siswa Madrasah
Foto: dok. Republika
Ilustrasi Siswa Madrasah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan Kementerian Agama (Kemenag) mencabut seluruh materi yang mengandung khilafah dan perang atau jihad dalam ujian maupun kurikulum di madrasah-madrasah memunculkan tanggapan beragam. Para guru madrasah belum sepakat menyikapi kebijakan itu.

Ketua Umum DPP Persatuan Guru Madrasah Indonesia (PGMI) Syamsuddin termasuk dalam golongan yang menolak rencana itu. Syamsuddin menilai, jika ingin menangkal paham-paham radikal, caranya bukan penghapusan materi secara total.

Baca Juga

Sebab, jika hal itu dilakukan, menurut dia, akan menutupi sejarah yang pernah terjadi dalam peradaban Islam. "Kalau itu bertentangan dengan Pancasila, karena negara kita berketuhanan Yang Maha Esa (boleh dihilangkan), kalau jalur pendidikan agama, enggak boleh dihapuskan dong," ujar Syamsuddin kepada Republika, Ahad (8/12).

Ia lalu menjelaskan, sistem pendidikan agama Islam di madrasah Indonesia sudah baik. Pasalnya, seluruh siswa memiliki nilai akhlak yang lebih baik daripada siswa di sekolah biasa. Bahkan, ia mencontohkan bahwa hingga saat ini siswa madrasah tidak pernah terdengar terlibat keributan, seperti tawuran. "Pengetahuan tanpa akhlak dapat membumihanguskan dunia," ujar Syamsuddin.

Ia juga menilai paham radikalisme muncul ketika adanya ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat, bukan karena disinggung dalam pelajaran di sekolah. "Ajaran Islam itu tidak ada yang radikal karena radikal akan menjadi pertentangan manusia. Ketidakadilan hadir ketika ada pemaksaan kehendak tertentu," ujar Syamsuddin berargumen.

Menurut Syamsuddin, PGMI mendukung segala langkah Kementerian Agama dalam memberantas radikalisme. Namun, ia mengimbau Kemenag untuk menggunakan cara-cara yang dialogis dan persuasif. "Menurut saya, yang harus diperbaiki metode dakwah, jadi dakwah yang humanis, rahmatan lil ‘alamin, toleran, seperti itulah. Dengan lembut, jangan ditekan seperti itu," ujar Syamsuddin.

Sebaliknya, Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Jawa Timur mengimbau pemerintah untuk segera merevisi kurikulum pendidikan agama Islam. Pasalnya, pertanyaan dalam ujian yang berisi hal-hal terkait khilafah sudah beberapa kali muncul.

Sekretaris Pimpinan Wilayah (PW) Pergunu Jawa Timur Ahmad Faqih mengatakan, kurikulum sejauh ini memang menentukan materi sebagai bahan pengajaran yang harus ditulis dan disampaikan ke murid. "Kurikulum fikih yang berlaku di MA kelas XII saat ini memang ada tema tentang khilafah yang harus diajarkan. Hal yang sama ada di materi pelajaran atau mapel (mata pelajaran) PAI SMA kelas XII," ujar Ahmad lewat keterangan tertulisnya, Ahad (8/12).

Selain itu, ia menilai ada keterbatasan akses yang dimiliki oleh tim penyusun buku pendidikan agama Islam (PAI). Menurut dia, tim penyusun tak memiliki akses referensi tema khilafah yang bersumber dari pakar Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) yang tepat.

"Hal di ataslah yang menurut kami memicu kejadian seperti ini terus terulang kembali. Guru yang mengajar dan menyusun soal PAS (penilaian akhir semester) diduga hanya merujuk buku ajar yang ada," ujar Ahmad. Untuk itu, ia mengimbau pemerintah untuk segera merevisi kurikulum yang ada, khususnya yang berkaitan dengan tema khilafah, agar tak salah saat disampaikan ke siswa.

Kedua, pemerintah juga dapat menggandeng Nahdatul Ulama atau Muhammadiyah dalam menyusun kurikulum. Hal ini agar referensi terkait khilafah dapat berlandaskan Aswaja. "Serta para cendekiawan Islam segera menyusun, menerbitkan, serta mendistribusikan buku ajar dan buku referensi yang berkaitan dengan tema khilafah dalam perspektif Aswaja dan selaras dengan ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin," ujar Ahmad.

Terakhir, Pergunu Jawa Timur mengimbau pemerintah untuk meningkatkan mutu guru, khususnya pengajar PAI dan fikih terkait tema khilafah, dalam perspektif Aswaja dan Islam ramah serta menjunjung tinggi asas keragaman dan toleransi. "Semoga kita tidak sekadar menyalahkan para guru pembuat soal yang sejatinya mereka juga korban dari keterbatasan kondisi lingkungan belajar-mengajar yang ada," ujarnya.

Porsi ajaran

Sorotan terhadap persoalan ini muncul setelah adanya soal terkait khilafah dalam ujian di beberapa madrasah aliyah negeri (MAN) di Jawa Timur. Soal itu masuk dalam ujian mata pelajaran fikih untuk siswa kelas XII madrasah aliyah di wilayah Kabupaten Kediri dan Kota Kediri.

Soal tersebut telah dicabut Kantor Wilayah Kementerian Agama setempat. Selain itu, Kemenag juga mengeluarkan kebijakan khusus yang melarang seluruh materi tentang khilafah maupun jihad dan perang masuk dalam ujian.

Surat yang menginstruksikan hal tersebut dikeluarkan Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah pada Kementerian Agama (Kemenag), Ahmad Umar, pada 4 Desember lalu dengan nomor B-4339.4/DJ.I/Dt.I.I/PP.00/12/2019. Surat itu berisi hal tentang implementasi Keputusan Menteri Agama (KMA) 183 Tahun 2019 dan KMA 184 Tahun 2019. Sementara, KMA tentang kurikulum PAI dan Bahasa Islam pada Madrasah itu memang menekankan pada pengajaran moderasi Islam (lihat tabel di halaman 8).

“Seluruh materi ujian di madrasah yang mengandung konten khilafah dan jihad telah diperintahkan untuk ditarik dan diganti sesuai ketentuan regulasi penilaian yang diatur pada SK Dirjen Pendidikan Islam Nomor 3751, Nomor 5162, dan Nomor 5161 Tahun 2018 tentang Juknis Penilaian Hasil Belajar pada MA, MTs, dan MI,” tertulis dalam poin ketiga surat tersebut.

Umar menjelaskan, yang dihilangkan sebenarnya bukan hanya materi khilafah dan perang. Setiap materi yang berbau ke kanan-kananan atau kekiri-kirian juga dihilangkan. Dia mengatakan, setiap materi ajaran yang berbau tidak mengedepankan kedamaian, keutuhan, dan toleransi juga dihilangkan. "Karena kita mengedepankan pada Islam wasathiyah," kata Umar kepada Republika, Sabtu (7/12).

Menurut Umar, perang memang bagian dari sejarah kehidupan Rasul, tapi Rasul tidak hanya berperang saja. "Justru yang kita ungkap banyak nanti aspek kehidupan Rasul yang menjaga perdamaian yang madani," ujarnya.

Umar mengingatkan, di Indonesia khilafah ditolak, maka tidak mungkin mengajarkan materi yang konteksnya membangun khilafah yang bertentangan dengan Indonesia. "Apakah kemudian pemerintahan Islam (khilafah) enggak diajarkan? Ya, tentu nanti ada porsi (pelajaran tentang) membangun peradaban dan pemerintahan, tapi yang sesuai dengan negara kita Indonesia," ujarnya.

Dia menegaskan, pihaknya tidak akan menghilangkan fakta-fakta sejarah Islam. "Tapi, pendekatan dan metodologinya yang kita ubah, supaya anak-anak enggak sampai lupa sejarah, dan enggak boleh melupakan sejarah," kata dia. n nawir arsyad akbar/fuji eka permana ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement