Senin 09 Dec 2019 04:33 WIB

Darah, Ideologi: Tragedi John Lennon dan Bubarnya Uni Soviet

Kisah kematian John Lennon dan bubarnya Uni Sovyet

Uni Sovyet Bubar terpecah menjadi 15 negara.
Foto:

Selain tertembaknya John Lennon, tragedi besar yang terjadi pada bulan Desember ternyata menimpa pada sebuah negara super power yang bernama Uni Sovyet.  Negara yang didirikan Vlademir Lennin pada bulan Desember 1922 setelah melalui revolusi berdarah Bolshevik dengan menyingkirkan Kaisar Rusia terakhir, Nikolai Tsar II, ternyata tak seperti dugaan atau bahkan impian banyak orang. Negara tersebut kini kemudian terpecah dalam banyak negara. Padahal kala itu negara ini sempat dinobatkan sebagai negara maju, penguasa teknologi militer dan ruang angkasa paling jempolan, memiliki wilayah paling luas di dunia, serta mempunyai bentangan kawasan pantai yang sangat panjang.

Sayangnya, negara yang begitu mengagungkan idelogi, yakni idelogi komunis ini ternyata hanya mampu berdiri atau eksis tak sampai satu abad. Tepatnya, pada 26 Desember 1991 negara yang sempat begitu dipuja dan menjadi ilham banyak negara sebagai contoh negara ideal karena bersemboyan sama rata - sama rata, akhirnya bubar jalan. Wilayahnya tercabik berkeping-keping.

Bila lebih ingin presisi, umur negara Uni Sovyet ternyata hanya berumur 69 tahun kurang empat hari. Jauh usainya dengan negara yang jadi ‘musuh besarnya'-nya yakni Amerika Serikat yang hingga kini masih eksis dengan usia yang hampir mencapai tiga ratus tahun.

Padahal semua tahu pada masa awal negara Uni Sovyet berdiri, ide pendirian negara ini begitu mengilhami banyak orang. Khusus untuk Indonesia persepsi kebesaran Uni Sovyet sangat tampak. Tak hanya menjadi ide acuan pada bapak bangsa seperti Tan Malaka, atau sang pemimpin pemberontakan PKI di Madiun 1948, Musso dan para sejawatnya, Sukarno pun sempat erat berhubungan dengan negara ini. Bahkan ideologi Marhaen banyak disebut sebagai idelogi rakyat kecil yang terinspirasi para pemikir Uni Sovyet yang disesuaikan dengan alam Indonesia.

Tak hanya itu, pada masa pendirian awalnya, semangat Uni Sovyet untuk memimpin dunia tampak begitu menggebu-gebu. Pada masa Presiden Joseph Stalin di awal 1920-an, negara Sovyet berhasil memodernisasikan pertaniannya dengan luar biasa. Mereka mengajukan program kolektivisasi yang begitu kuat, bahkan bisa dibilang ganas. Kala itu para pemimpinnya seakan-akan tak peduli penderitaan rakyatnya yang banyak mati kelaparan.

Tak hanya itu, semua lawan politik pihak penguasa 'dilepeh' dengan cara dibuang  ke berbagai kamp konsentrasi di daerah paling ganas di ujung dunia yang sunyi dan membeku, Siberia. Para kaum oposan lainnya tak sungkan mereka bunuh dengan cara ditembak mati. Oleh sang penguasa, yakni Lenin, semua musuh atau pihak yang kritis kepada kekuasaannya  dianggap sebagai kaum pembangkang yang harus menemui ajal dengan dibunuh. Lenin misalnya pada tahun 1937 melakukan pembersihan para seterunya secara besar-besaran. Atas kekejaman ini apa yang dilakukan Lenin kala itu bahkan disebut sebagai salah satu kebrutalan dunia di masa moderen layaknya para fasis lain seperti Hitler dan Mussolini.

Namun lucunya, segala gairah yang berkobar di masa awal tahun 1920-an itu, nun pada satu dekade sebelum datangnya tahun 2000, apa yang dahulu dikorbankan ternyata hancur secara total. Perekonomian Uni Sovyet ambruk. Rakyat Sovyet kala itu sempat menolak membayar pajak kepada pemerintah yang berpusat di Moskwa.

Segala gejolak ini menyebabkan macetnya ekonomi karena garis pasokan ekonomi dalam negeri Uni Soviet  sudah sedemikian rusak parah. Kian lama perekonomian Uni Soviet pun semakin merosot.  Dan usaha mengembalikan eksisistensi Sovyet yang diambang kehancuran sempat pula dilakukan. Sekelompok anggota garis keras Partai Komunis Uni Sovyet dengan dibantu badan intelejen negara KBG pada Agustus 1991  berusaha menahan perpecahan itu. Mereka melakukan kudeta kepada Presiden Uni Sovyet saat itu, Mikhail Gorbachev. Sayangnya kudeta yang dilakukan Komite Nasional Darurat Negara (Gosudarstvennyi Komitet po Chrezvechainomu Polozheniyu/GKChP) tersebut tak berhasil. Padahal apa yang diumumkannya pada 19 Agustus 1991 kepada seluruh rakyat Soviet sangat 'patriotik'. 

“(Negara yang dipimpin Gorbachev) telah memanfaatkan kebebasan yang diberikan pada mereka untuk menginjak-injak tunas segar demokrasi. Kini pasukan ekstremis muncul dan bermaksud melikuidasi Uni Soviet, menghancurkan pemerintah dan merebut kekuasaan dengan segala cara,” kata GKCh. Namun sayangnya, serus ini tak didukung. Rakyat Sovyet tak menggubrisnya. Kudeta tak menemukan hasil.

Efek kegagalan kudeta ini pun luar bisa akibatnya. Puncaknya, Majelis Agung Uni Soviet pada tanggal 26 Desember 1991 membubarkan dirinya. Dan ini celakanya sekaligus menjadi pertanda bubarnya Uni Sovyet sebagai suatu federasi. Uni Sovyet yang selama ini begitu perkasa luluh lantak dan kemudian terpecah menjadi 15 negara.

Alhasil, antara Lennon dan Uni Sovyet nasibnya memang berakhir tragis. Pada jayanya keduanya dielukan dan mampu menciptakan imaji sesuatu yang ideal. Tapi pada akhirnya ternyata hanya menghadirkan dengan pertumpahan darah. Cita-cita John Lennon yang sempat juga dituduh sebagai penganut idelogi sosialis layaknya Uni Sovyet dititik akhir ternyata adegannya 'unhappy ending'. Saat itu Lennon memang terlihat simpati kepada ide kekiri-kirian. Dia mulai kencang mengkritisi ide kapitalis dan kaum feodal, termasuk Ratu Inggris. Dia mengembalikan anugerah kebangsawanan 'Sir' yang merupakan impian bagi banyak warga Inggris.

Namun, sama dengan John Lennon, nasib akhir Uni Sovyet pun terabadikan dengan sebuah lagu hits dunia. Beda dengan Lennon yang berasal dari Inggris, akhir kisah Uni Sovyet dikisahkan oleh band kugiran asal Jerman, Scorpions. Lagunya ‘Wind of Change’. Sama dengan 'lagu Imagine' John Lennon, lagu 'Wind Of Change' juga menjadi lagu abadi dunia yang menandai akhir sebuah era.

I follow the Moskva

Down to Gorky Park

Listening to the wind of change

An August summer night

Soldiers passing by

Listening to the wind of change

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement