Ahad 08 Dec 2019 19:00 WIB

Koruptor Maju Pilkada, Golkar: Selagi Punya Hak Politik

UU Pilkada tak tegas melarang eks terpidana korupsi mencalonkan jadi kepala daerah.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
Ketua DPP Parta Golkar Ace Hasan Syadzily menyampaikan keterangan kepada wartawan usai diskusi di Jakarta Pusat, Ahad (8/12).
Foto: Republika/Mimi Kartika
Ketua DPP Parta Golkar Ace Hasan Syadzily menyampaikan keterangan kepada wartawan usai diskusi di Jakarta Pusat, Ahad (8/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily mengatakan, setiap orang yang hak politiknya untuk memilih dan dipilih tidak dicabut oleh keputusan pengadilan, dapat mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Sebab, menurut dia, semua pihak juga harus menaati konstitusi tersebut.

"Selagi hak politiknya tidak dicabut. Saya kira kita harus taat terhadap aturan itu," ujar Ace kepada wartawan di Jakarta Pusat, Ahad (8/12).

Baca Juga

Ia menjelaskan, Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tak tegas mengatur larangan mantan terpidana korupsi mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Kecuali, ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap mencabut hak politik seseorang untuk dipilih dan memilih.

"Kalau misalnya ada seseorang yang memang telah dicabut hak politiknya, karena misalnya korupsi, harus taat terhadap keputusan itu," kata dia.

Ia mengaku, Partai Golkar memiliki sistem untuk menentukan bakal calon kepala daerah. Sistem itu disebut PDLT. Partai Golkar menilai dari prestasi, dedikasi, loyalitas, dan tidak melakukan tindakan tercela.

"Dasar itu yang dijadikan oleh Partai Golkar, termasuk nanti untuk menentukan siapa calon kepala daerah," tutur Ace. Menurutnya, siapa saja boleh untuk mengikuti pilkada, tetapi Golkar akan tetap melakukan seleksi.

Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Akan tetapi, tak ada secara khusus larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi seperti yang diwacanakan.

"Kita berharap itu kan di masukan dalam Undang-Undang, karena kita juga sekarang ini kan lebih fokus pada tahapan. Jadi supaya jangan terlalu misalnya menjadi lama," ujar Komisioner KPU RI Evi Novida Manik saat dihubungi, Jumat (6/12).

Dalam Pasal 4 soal persyaratan calon kepala daerah, tidak ada larangan bagi mantan terpidana kasus korupsi. Pasal 4 ayat H masih sama dengan aturan sebelumnya yakni PKPU Nomor 7 Tahun 2017 yang hanya mengatur larangan bagi dua mantan terpidana.

Dua mantan terpidana yang tersirat disebutkan dilarang dalam PKPU antara lain bukan mantan terpidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak. Akan tetapi, Evi mengatakan, PKPU Nomor 8/2019 ada penambahan Pasal 3A yang intinya bakal calon kepala daerah diutamakan bukan mantan terpidana korupsi.

KPU berharap pengaturan larangan mantan terpidana korupsi dicantumkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum maupun UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dua Undang-Undang tersebut rencanya akan direvisi dan mulai dibahas dalam program legislasi nasional 2020.

"KPU tetap dalam prinsipnya melarang, ingin melarang napi untuk maju sebagai kepala daerah. Tapi kami minta kepada partai politik untuk mengutamakan yang bukan napi koruptor," kata Evi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement