REPUBLIKA.CO.ID, SERANG -- Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Serang pada 2020 mengalami defisit sebesar Rp 74 miliar. Hal ini terungkap setelah APBD Ibu Kota Provinsi Banten ini disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) beberapa waktu lalu.
Berdasarkan draf rancangan APBD 2020 tersebut diketahui jumlah pendapatan diterima pemerintah kota (pemkot) adalah sebesar Rp 1,2 triliun. Pendapatan itu berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) sekitar Rp 200 miliar, dana perimbangan sekitar Rp 942 miliar, dan pendapatan daerah lain yang sah sebanyak Rp 132 miliar.
Sementara, jumlah belanja daerah mencapai Rp 1,3 triliun. Belanja ini terbagi pada belanja langsung sebesar Rp 672 miliar dan belanja tidak langsung Rp 678 miliar, sehingga menghasilkan defisit sebesar Rp 74 miliar.
Untuk menutupi desfisit tersebut, pemkot berencana akan menggunakan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan (Silpa) 2019 yang diprediksi akan mencapai Rp 74 miliar. "Silpanya belum diketahui sampai 31 Desember dan audit, mudah-mudahan tertutup," jelas Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Serang, Wachyu Budi Kristiawan, Rabu (4/11).
Sisa anggaran disebutnya merupakan hasil dari efisiensi pembiayaan yang dilakukan pemkot. Uang ini menurutnya yang paling dimungkinkan untuk menutupi kebutuhan anggaran pembangunan di Kota Serang.
Pemkot hingga kini disebutnya masih bergantung pada dana bantuan transfer pemerintah pusat ataupun provinsi. Sebagai daerah yang baru 12 tahun dibentuk, PAD Serang baru mampu menyumbang Rp 200 miliar.
"Tapi semakin tahun kita naikkan target pendapatan, bahkan tahun depan akan kita naikkan sampai 12 persen dari target tahun ini," kata Wahyu.
Sementara Ketua Komisi III Bidang Keuangan daerah DPRD Kota Serang, Tubagus Ridwan Akhmad mengkritisi langkah pemkot yang merencanakan untuk menutup defisit dengan silpa. Ia menilai, pemkot seperti tengah merencanakan kegagalan penyerapan anggaran.
"Sama halnya dengan merencanakan kegagalan penyerapan anggaran. Silpa yang besar itu berarti banyak program pembangunan yang tidak terserap anggarannya, ujungnya masyarakat yang dirugikan," jelas Tubagus Ridwan Akhmad.
Ia mengatakan bahwa seharusnya pemkot menutup defisit tersebut dengan efesiensi belanja atau menggenjot kembali pendapatan asli daerah. "Jika itu tidak mampu dilakukan, maka jangan memasang angka defisit yang terlalu besar dalam postur APBD 2020," katanya.
Postur RAPBD disebutnya juga belum ideal. Pasalnya, anggaran belanja tidak langsung justru lebih besar dibanding belanja langsung.
Adapun Wali Kota Serang Syafrudin membantah bahwa pemkot merencanakan silpa untuk menutup defisit anggaran. Silpa diaebutnya lumrah terjadi di pemerintah daerah dan ada karena banyak faktor yang mempengaruhinya.
"Tidak mungkin, kan kita ada pajak, pajak PBB itu saja sudah Rp 33 miliar, ada reklame dan lainnya. Silpa itu setiap tahun pasti ada, bukan berarti kita mengandalkan silpa. Adanya sisa itu kan karena penghematan anggaran, over target, over harga barang. Bukan hanya terjadi di Serang, di daerah lain pun ada," kata Syafrudin.