REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Administrasi Publik Universitas Padjadjaran Yogi Suprayogi menilai, wacana programflexible working arrangement (FWA) atau pengaturan kerja fleksibel bagi aparatur sipil negara (ASN) harus dilihat secara menyeluruh. Ia mengatakan, budaya kerja ASN di masing-masing wilayah di Indonesia tidak bisa disamaratakan.
Ia menjelaskan, konsep FWA adalah bagaimana mengatur sistem kerja yang fleksibel, tapi tetap memiliki capaian yang sesuai dengan target organisasi. "Pertanyaannya, apakah ASN siap? Mau tidak mau harus siap sebenarnya. Di era seperti ini kan mudah untuk mengerjakan sesuatu dari rumah," kata Yogi kepada Republika, kemarin.
Namun, ia menilai konsep ini tidak bisa diterapkan ke semua jenis ASN. Contohnya, mereka yang bertugas melayani masyarakat secara langsung.
Yogi beranggapan, budaya kerja sebagian besar ASN di Indonesia belum bisa langsung diterapkan dalam konsep FWA. Oleh karena itu, butuk waktu bagi ASN Indonesia untuk menerapkan konsep tersebut.
"Saya lihat budaya kerjanya belum bisa seperti itu. Jadi, di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, sudah bisa. Tapi coba ke daerah lain seperti Papua," kata Yogi.
Ia menjelaskan, Papua memiliki kondisi dan medan yang sangat berbeda dari yang ada di kota-kota besar lain. Konsep bekerja dengan lokasi dan waktu fleksibel, menurut Yogi, bisa jadi tidak efektif bila diterapkan di daerah-daerah lain. "Jadi harus lihat average, jangan lihat hanya di Jakarta atau kota-kota besar lainnya," kata dia lagi.
Konsep kerja fleksibel bagi ASN ini sedang dikaji Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) melalui tim Project Management Office (PMO) Manajemen Kinerja. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja PNS.
Dengan program ini, ASN dimungkinkan bekerja di luar kantor dan mendapatkan libur selain Sabtu dan Ahad. Ketua Project Management Office (PMO) Manajemen Kinerja PP 30 2019 Waluyo Martowiyoto mengatakan, konsep fleksibilitas kerja tidak bisa diterapkan ke seluruh ASN, misalnya mereka yang bekerja untuk pelayanan publik.
"Mungkin bisa diterapkan untuk pekerjaan yang sifatnya bukan pelayanan publik, contohnya peneliti, job analyst. Itu pekerjaan yang bisa dilakukan secara remote," kata dia saat dihubungi Republika, Selasa (3/12).
Ia mengatakan, PNS bisa saja mendapatkan libur pada Jumat. Namun, jam kerja pada hari lainnya harus ditambah sehingga total 80 jam kerja selama 10 hari tetap terpenuhi.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Daerah Kabupaten Purwakarta Iyus Permana mengaku kurang setuju dengan kebijakan ini. Menurut Iyus, jam kerja PNS seperti saat ini sudah baik dan optimal untuk melayani publik. Iyus mengatakan, berubahnya hari kerja PNS dikhawatirkan berdampak pada layanan publik. “Lebih baik seperti ini saja, supaya layanan publik tidak terganggu,” kata Iyus kepada Republika, Rabu (4/12).
Iyus memahami, kebijakan ini akan diuji coba di level pemerintah pusat. Pemerintah ingin mengkaji efektivitas membuat jam kerja PNS lebih fleksibel tanpa mengurangi kewajiban dan tanggung jawab sebagai pelayan masyarakat.
“Di kita belum ada arah ke situ, itu baru wacana dan bukan libur, tapi dikerjakan di rumah, itu juga bagi pegawai fungsional perencana di pusat dulu,” ujarnya.
Ia berharap, PNS bisa bekerja lebih optimal dalam melayani publik. Program pembangunan di daerah pun bisa lebih optimal tanpa terganggu wacana jam kerja baru. n inas widyanuratikah/zuli istiqomah, ed: satria kartika yudha