REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin meminta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) melakukan kajian mendalam terkait rencana program flexible working arrangement (FWA) atau pengaturan kerja yang fleksibel bagi aparatur sipil negara (ASN). Kiai Ma'ruf tak ingin program tersebut dibuat tergesa-gesa hingga tidak memberikan manfaat untuk reformasi birokrasi.
"Kita akan terus melakukan pengkajian tentang birokrasi ini, tentang ASN ini kita menyadari yang sudah dilakukan itu baru pada kulitnya, belum paru-parunya, belum jantungnya," ujar Kiai Ma'ruf saat diwawancarai wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (4/12).
Kiai Ma'ruf mengatakan, pemerintah memang sedang menggencarkan reformasi birokrasi. Oleh karena itu, ia akan memberikan dukungan asalkan program fleksibilitas kerja ASN bisa mendukung reformasi birokrasi.
Ia memastikan, program tersebut akan terus dikaji oleh pemerintah. "Masih dalam pembahasan, nanti efektif apa enggak, pokoknya reformasi birokrasi itu terus akan bergulir jadi yang terbaik," kata Kiai Ma'ruf.
Kemenpan-RB saat ini sedang mengkaji program flexible working arrangement. Dengan program ini, ASN dimungkinkan bekerja di luar kantor dan mendapatkan libur selain Sabtu dan Ahad. Kebijakan ini tak akan diberlakukan untuk semua PNS.
Konsep bekerja tanpa harus datang ke kantor hanya dimungkinkan bagi mereka yang tidak bekerja di bidang pelayanan publik. Sementara, kebijakan untuk mengambil libur di hari kerja bisa didapatkan bagi mereka yang dianggap berprestasi dan memiliki kinerja baik.
Kebijakan tersebut merupakan bagian dari implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja PNS. Dalam penilaian kinerja itu, ASN akan dikategorikan menjadi tiga peringkat, yaitu peringkat terbaik sebesar 20 persen, peringkat menengah sekitar 60-67 persen, dan peringkat terendah sebesar 20 persen.
Anggota Ombudsman RI, Laode Ida, mendukung wacana pengaturan kerja fleksibel bagi ASN. Namun, ia mengingatkan, program tersebut harus diuji coba terlebih dahulu sebelum diterapkan. "Jadi, jangan langsung melakukan perubahan tanpa satu uji coba. Uji coba saja dulu. Harus ada piloting untuk menerapkan program itu," ujar Laode saat dihubungi Republika, Rabu.
Laode mengatakan, Ombudsman saat ini belum bisa memberikan masukan karena program kerja fleksibel ASN masih sebatas wacana. Namun, dia mengingatkan agar program itu tak merugikan masyarakat yang harus mendapatkan pelayanan maksimal.
Ia menilai kerja fleksibel bagi ASN bisa saja diterapkan di Indonesia.
Konsep bekerja fleksibel, baik tempat maupun waktu, memungkinkan ASN bisa mendapatkan libur pada Jumat karena memadatkan waktu 80 jam kerja selama 10 hari. Namun, kriteria-kriteria ASN yang bisa menjalani program kerja fleksibel itu harus terukur secara objektif. Program ini pun disarankan tak diberlakukan bagi ASN di bidang pelayanan publik.
Ia menambahkan, tolok ukur para ASN yang dapat melaksanakan kerja fleksibel sebagai penghargaan atas kinerja mereka juga harus jelas. Jangan sampai kebijakan itu menimbulkan diskriminasi dan dianggap tidak adil oleh ASN lainnya.
"Maka harus terukur itu kerjanya seperti apa, apa itu harus ada ukurannya. Jadi, semuanya harus dilakukan berdasarkan ukuran-ukuran yang bisa menjadikan orang dianggap, 'oh, itu wajar atau adil.’ Jangan sampai ada yang didiskriminasi," ungkap Laode.
Wakil Presiden KH Ma'ruf.
Produktivitas
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko mengatakan, pemerintah harus membuat regulasi sebelum menerapkan konsep ASN bekerja fleksibel. "Harus ada regulasi dan pengaturan yang lain supaya bisa fair," ujar Handoko.
Ia menambahkan, pemerintah perlu merumuskan karakter pekerjaan dan layanan tertentu yang dapat menerapkan kebijakan kerja fleksibel. Pemerintah juga harus menyiapkan sistem untuk mendukung penerapan program tersebut agar menjamin pelayanan publik tidak terganggu.
Menurut Handoko, kerja fleksibel bagi ASN bisa diterapkan di Indonesia. Dampak positifnya bisa meningkatkan produktivitas para pegawai. Manfaat itu, kata dia, sudah dirasakan LIPI yang beberapa tahun terakhir telah menerapkan kerja fleksibel secara umum bagi seluruh pegawai LIPI, apalagi para peneliti yang sebagian besar bekerja di luar kantor.
"Apalagi di Jakarta, terhadap kemacetan yang sedemikian parah itu, (kerja fleksibel) cukup meningkatkan produktivitas karena dia tidak perlu mengeluarkan waktu dan membuang energi juga," kata dia.
Handoko mengklaim, sejauh ini, penerapan kerja fleksibel di LIPI berdampak baik. Manfaat positif juga dirasakan bagi para pegawai yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan kemudian berpengaruh terhadap kualitas kinerja pegawai itu sendiri.
Regulasi penerapan kerja fleksibel di LIPI sudah disusun sedemikian rupa. Ada sistem piket bagi setiap divisi untuk memastikan kesiapan pegawai melakukan pelayanan baik terhadap masyarakat luas maupun internal LIPI secara tepat waktu. "Harus ada sistem piket pasti. Layanan publik tidak bisa berhenti, tidak bisa fleksibel," kata dia.
Menurut dia, manfaat positif dari penerapan kerja fleksibel dapat terlihat dari hasil atau capaian target masing-masing pegawai. Jika pun kinerja pegawai itu buruk, maka harus diberikan hukuman berdasarkan indikator penilaian
"Kita lihat dari situ, itu tidak boleh turun, karena kalau dia tidak tercapai dia akan dipotong tunjangan kinerjanya. Jadi, memang harus ada reward dan punishment. Kita tidak bisa juga sekadar fleksibel," ungkap dia. n fauziah mursid/mimi kartika, ed: satria kartika yudha