REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor menyatakan kekurangan jumlah guru atau tenaga pendidik. Sekretaris Daerah Kota Bogor Ade Sarip Hidayat menjelaskan rata-rata 100 guru di Kota Bogor pensiun setiap tahunnya.
"Tahun ini, ada 219 PNS yang pensiun 173 pendidik. Bisa dibayangkan ini rasio guru dan peserta didik, itu timpang," kata Ade di konfirmasi, Rabu (4/11).
Ade menjelaskan, mayoritas guru di Kota Bogor diangkat sebagai pegawai ngeri sipil (PNS) berdasarkan instruksi presiden (Inpres) pada 1979. Artinya, Ade menyatakan, guru di Kota Bogor akan pensiun secara serentak.
Ade menyatakan, pemerintah pusat juga harus mengantisipasi menurunnya jumlah guru di setiap daerah. Karena itu, ia menyatakan, pembukaan PNS pada formasi guru harus terus diperhatikan.
"Di daerah pun harus lebih menitik beratkan menambah kualitas dan kuantitas guru agar nanti seimbang peserta didik dan pendidik," jelasnya.
Meskipun demikian, Ade mengapresiasi formasi CPNS yang diberikan kepada Kota Bogor tahun ini. Pasalnya, pemerintah pusat memberikan kuota terbanyak pada formasi guru.
Pada 2019, Kota Bogor memperoleh sebanyak 294 formasi CPNS, tenaga pendidik mendapat jatah terbanyak dengan 145 formasi. Kemudian, tenaga kesehatan mendapat sebanyak 122 formasi. Sisanya, akan mengisi tenaga teknis sebanyak 27 orang.
"Sudah bagus itu pemerintah pusat sudah ada keberpihakan. Kita patut bersyukur ada pembukaan penerimaan CPNS tahun ini," jelasnya.
Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bogor Fahrudin mengakui Kota Bogor kekurangan jumlah guru. Ia menyatakan, jumlah guru berstatus PNS tak sebanding dengan peserta didik yang diajar.
Berdasarkan data Disdik 2019, tercatat guru yang berstatus PNS sebanyak 3.667 orang. Idealnya, PNS guru berada di angka 5.000 orang. Namun, angka itu dipastikan akan berkurang lantaran hampir 30 persen guru akan pensiun pada tahun 2020.
"Kekurangan guru PNS sekitar 1.000 orang lebih. Ditutupnya ya dengan guru honorer," kata Fahrudin.
Fahrudin menjelaskan, kekurangan satu guru kelas akan berdampak banyak pada mata pelajaran. Sebab, satu guru kelas yang berstatus PNS dapat mengajar banyak mata pelajaran. Sementara, guru honorer hanya dapat mengajar satu mata pelajaran.
Fahrudin menjelaskan total guru honorer honorer di Kota Bogor telah mencapai 1.500 orang. Meskipun jika diakumulasikan, tenaga pendidik di Kota Bogor mencapai 5.167 pengajar. Namun, peran guru honorer belum sebanding dengan guru PNS.
"Guru honorer itu guru mata pelajaran, mata pelajaran Kesenian, Olahraga atau Agama, itu satu guru honorer. Jadi harus ada mata pelajaran ini, pelajaran itu," katanya.
Fahrudin menyatakan, pihaknya terus berupaya menjaga kualitas guru honorer. Ia mengatakan, guru honorer di Kota Bogor mendapat tambahan gaji sebesar Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta rupiah perbulannya.
"Tapi semua teratasi. Guru honorer mendapat honor dari pemerintah selain dari BOS (bantuan operasional sekolah)," ujarnya.
Ia menuturkan, kekurangan guru terbanyak berada pada tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hal itu, tak terlepas dari biaya pendidikan ditingkat SD dan SMP Negeri di Kota Bogor telah digratiskan.
Ia menjelaskan, SD dan SMP Negeri memperoleh dana BOS dari pemerintah pusat dan Pemkot Bogor. Ia merinci, SD dan SMP di Kota Bogor mendapat Rp 800 ribu per siswa dari dana BOS dan Rp 400 ribu per siswa dari Pemkot Bogor setiap tahunnya. Artinya, ia mengatakan, bantuan yang diperoleh sekolah setiap bulannya hanya Rp 100 ribu.
Fahrudin pun mengkritisi, bantuan dari orang tua untuk sekolah negeri di Kota Bogor. Ia menyatakan, sekolah negeri yang telah memperoleh bantuan tidak lagi memungut biaya dari orang tua. Padahal, Sekolah masih membutuhkan biaya untuk meningkatkan kualitas dan sarana di sekolah.
"Berarti sebulan berapa Rp 100 ribu, cukup gak operasional sekolah? Termasuk honorer guru. Sementara swasta maju itu berapa Rp 2 juta per siswa perbulan," terangnya.
Karena itu, Fahrudin meminta, kepedulian orang tua siswa di Kota Bogor untuk membantu biaya pendidikan. Hal itu, kata dia, agar sekolah dapat menghadirkan pendidikan yang bermutu dan berkualitas.
"Dibiayai negara tidak cukup. Tapi masyarakat berpandangan (sekolah) gratis. Nah ini bahayanya. Ujung-ujungnya juga kualitas (sekolah) seadanya," jelasnya.
Fahrudin meminta, kesadaran orang tua siswa dan masyarakat umum untuk terlibat dalam pembiayaan pendidikan. Jangan sampai, sumbangan yang diminta menimbulkan kecurigaan di mata masyarakat.
Fahrudin menyatakan, meskipun Sekolah gratis sumbangan yang diberikan oleh masyarakat kepada sekolah telah sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
Dalam Permendikbud tersebut, Komite Sekolah dapat memaksimalkan perannya dalam peningkatkan mutu sekolah. Komite Sekolah diperbolehkan menerapkan prinsip gotong royong, baik dalam penggalangan dana, maupun pengawasan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
"Karena pemerintah sadar, biaya masih kurang akhirnya ada itu (Permendikbud). Tapi ini dilematis. Akhirnya sumbangan itu dititipkan ke guru. Enggak boleh. Tapi orang yang motret gimana? Ini tantangan yang luar biasa," jelasnya.
Opsi Bagi Guru Honorer