Oleh M Husnaini
Saya ajak Anda untuk sejenak melakukan introspeksi dengan sungguh-sungguh. Melimpah ruahnya nikmat hidup ini, sudahkah kita tanggapi dengan rasa syukur atau justru kufur? “Apabila kalian menghitung nikmat Allah,” tutur Al-Qur’an, “pasti kalian tidak akan mampu menghitungnya.”
Penggalan ayat 34 dalam surah Ibrahim [14] di atas penting direnungkan. Faktanya, tidak ada bagian dalam hidup kita yang lepas begitu saja dari karunia Allah berupa aneka nikmat. Itulah rizki yang tiada termaknai nilainya. Namun begitu, sikap salah kaprah ternyata kerap menggiring kita lebih mengedepankan kufur ketimbang syukur.
Beberapa waktu lalu, saya diminta untuk memberikan ceramah iftitah dalam acara pembagian rapor semesteran di sebuah Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM). Giliran kepala madrasah berdiri menyampaikan laporan perihal perkembangan madrasah dan murid, baru saja beruluk salam, mendadak seorang wali murid berteriak, “Langsung saja. Jangan lama-lama, karena kita sudah letih setelah seharian bekerja.”
Peristiwa barusan mirip perilaku jamaah kita dalam shalat Jum’at. Manakala khatib menyampaikan khutbah agak panjang, sering ditemukan jamaah yang tidak sabar. Gelagat serupa itu tidak cukup ditunjukkan melalui ekspresi muka. Namun juga melalui ekspresi sikap, misalnya menggerutu atau bahkan merasani khatib dengan teman sebelah. Dia tidak sadar kalau tindakan seperti itu sungguh-sungguh menggugurkan nilai pahala shalat jamaah Jum’at yang dia kerjakan.
Dua contoh kasus di atas, menurut saya, ada kaitannya dengan minimnya rasa syukur. Kalau mau menyadari, alangkah kita sering tidak adil terhadap nikmat yang telah Allah berikan. Katakanlah nikmat waktu. Cobalah berhitung, berapa jam kita membuang waktu hanya untuk kongko di warung kopi, dll.
Pola pandang kita dalam merespons nikmat hidup, terbukti salah kaprah. Nyaman seharian bekerja di kantor, tetapi bosan sebentar singgah di majelis pengajian. Betah sekian jam memelototi koran, tetapi gerah sekian menit mendalami Al-Qur’an. Mampu melakukan pekerjaan berat, tetapi lumpuh mendirikan shalat. Kita acap kali gagal membedakan antara penting dan sepele, utama dan percuma, baik dan buruk, taat dan maksiat, serta pahala dan dosa.
Sudah begitu, kita gemar sekali menuntut rupa-rupa kelezatan di luar kewajiban yang mampu kita tunaikan. Mengharapkan anak menjadi baik seraya diri tidak menunjukkan watak orangtua yang baik. Memimpikan posisi terpandang sambil diri ogah menuntaskan pengabdian. Merindukan hidup bahagia sembari diri menolak ibadah dan amal utama. Keinginan kita kerap tidak jumbuh dengan kemauan kita dalam usaha nyata.
“Wahai Tuhanku! Ampunilah aku dan kedua orangtuaku, serta orangorang Mukmin pada hari perhitungan amal di akhirat kelak.” Pantaslah doa Nabi Ibrahim, sebagaimana tertuang dalam surah Ibrahim [14] ayat 41 itu terus kita langitkan. Terlalu kerap kita mengabaikan ancaman Allah bahwa azab pedih sungguh akan menimpa apabila kita kufur atas segala nikmat dari-Nya. (Qs Ibrahim [14]: 7).
Kita banyak menuntut hak dan sedikit memenuhi kewajiban. Di antara hak Allah adalah ditaati dan tidak didurhakai, diingat dan tidak dilalaikan, serta disyukuri dan tidak dikufuri. Kita alpa memahami hak Allah atas diri kita. Renungkanlah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Seseorang dari Bani Israil beribadah selama 60 tahun agar kebutuhannya terpenuhi.
Namun, doanya belum terjawab. Dia lalu bilang kepada dirinya, “Demi Allah! Andaikan dalam dirimu ada kebaikan, pasti kebutuhanmu sudah dipenuhi.” Kemudian, dalam tidurnya, dia bermimpi didatangi oleh seseorang dan berkata kepadanya, “Tahukah engkau bahwa celaanmu terhadap dirimu waktu itu, lebih baik dari ibadahmu selama puluhan tahun tersebut.”
M Husnaini, Penulis buku “Hidup Bahagia dengan Energi Positif” tinggal di Takerharjo Solokuro, Lamongan