Senin 02 Dec 2019 17:32 WIB

PMA Majelis Taklim: Kritik Muhammadiyah dan Saran NU

PMA 29/2019 mengatur bahwa majelis taklim harus terdaftar di Kemenag.

[ilustrasi] Suasana pengajian yang diikuti Majelis Taklim Kaum Ibu Darul Akhyar Parungbingung, Kota Depok.
Foto: Dok Ponpes Madinatul Qur'an
[ilustrasi] Suasana pengajian yang diikuti Majelis Taklim Kaum Ibu Darul Akhyar Parungbingung, Kota Depok.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Wahyu Suryana, Muhyiddin, Fauziah Mursid

Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim menuai kontra. Salah satu yang bersuara keras adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nasir.

Baca Juga

Haedar menilai, kegiatan keagamaan di ranah umat seperti majelis taklim justru dapat menghidupkan spirit keislaman yang tinggi yang sangat positif untuk menanamkan, memahamkan, dan mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Sehingga, menurut Haedar, pemerintah tak perlu mengatur secara detail aktivitas keagamaan seperti majelis taklim.

"Tidak boleh ada diskriminasi khusus kepada kegiatan-kegiatan keagamaan di lingkungan umat Islam seperti majelis taklim," ujar Haedar kepada wartawan, Ahad (1/12).

Terkait argumentasi pemerintah soal PMA Majelis Taklim sebagai upaya mencegah radikalisme atau ekstrimisme, Hedar melihat, sebenarnya ketentuan perundangan yang ada sudah lebih dari cukup. Jadi, tidak perlu terlalu jauh mengatur aktivitas umat beragama.

Haedar pun berpesan, agar pejabat-pejabat publik tidak mudah mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengarah stigma atas kasus terbatas untuk digeneralisasi. Diperlukan dialog dengan semua komponen bangsa demi dalam kehidupan keagamaan dan kebangsaan yang lebih baik ke depan.

"Lagi pula, jangan menggeneralisasi dan menjadikan umat Islam sebagai sasaran deradikalisasi secara sepihak, diskriminasi dan dengan aturan yang monolitik seolah umat mayoritas ini menjadi sumber radikalisme dan ekstrimisme," ujar Haedar.

Menurut Haedar, jangan sampai PMA Majelis Taklim menjadi alat mengatur dan melarang majelis-majelis taklim yang tidak sepaham dengan aparat atau pejabat Kemenag dalam hal ini KUA setempat. Sehingga, jadi instrumen untuk kepentingan golongan atau mazhab agama dominan dalam instansi itu. Sebab, jika itu terjadi, dimungkinkan malah akan memunculkan konflik kepentingan dan gesekan paham keagamaan yang melibatkan otoritas negara atau institusi pemerintah.

Ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama juga menyoroti terbitnya PMA Majelis Taklim. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Manan Ghani mengatakan, Kemenag seharusnya tidak merepotkan majelis taklim dalam kegiatan dakwahnya.

"Mereka data jumlah majelis taklim. Bukan majelis taklim yang disuruh mendaftar. Enak nanti. Kemeterian Agama kan punya penyuluh agama di tingkat kecamatan. Punya KUA. Masak setiap kecamatan enggak bisa mendata majelis taklim," ujar Kiai Manan saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (1/12).

Kiai Mannan mengakui dirinya belum membaca draf PMA Majelis Taklim. Namun, menurut dia, yang jelas selama ini majelis taklim bisa hidup meskipun tanpa bantuan dari pemerintah karena mereka berdakwah atas motivasi menyiarkan agama Islam.

"Kita itu hidup sendiri dan dakwah sendiri atas motivasi menyiarkan agama, justru kita malah direpotkan dengan harus mendaftar dan sebagainya," kata Kiai Manan.

"Kementerian agama punya aparat yang bisa mendata. Silakan majelis taklim didata. Jika mau memberi bantuan silahkan bantu dengan data yang mereka sendiri," tegasnya lagi.

Penjelasan wapres

Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin merespons PMA tentang Majelis Taklim yang baru saja diterbitkan oleh Menteri Agama Fachrul Razi. Menurut Kiai Ma'ruf, aturan yang mengharuskan majelis taklim terdaftar di Kementerian Agama itu penting untuk pendataan.

Hal ini agar mencegah bibit-bibit masalah yang bisa muncul lewat majelis taklim. "Untuk data saya kira perlu supaya jangan sampai ada majelis yang menjadi sumber persoalan, tahu-tahu mengembangkan radikalisme misalnya, kan jadi masalah," ujar Ma'ruf saat ditemui di Hotel Kempinski, Jakarta, Senin (2/12).

Namun demikian, Ma'ruf menilai aturan itu bersifat pendataan atau pelaporan saja mengenai keberadaan majelis taklim. Karena itu, ia tidak sependapat jika aturan tersebut bentuk dari intervensi pemerintah kepada masyarakat.

Terlebih, menurut Ma'ruf, aturan tersebut bersifat tidak wajib bagi majelis taklim. "Mungkin bukan terdaftar, dilaporkanlah kira-kira gitu supaya tahu ada majelis taklim, ya mungkin (administrasinya) itu dilaporkan. Jadi kalau ada majelis taklim, laporlah gitu," ujar Ma'ruf.

Ma'ruf tak memungkiri di tengah era perkembangan teknologi saat ini, semua harus terdata, begitu pun keberadaan majelis taklim. "Pendataan, iya. Kan sekarang semua harus terdata, tamu saja harus didata," ujar Ma'ruf.

PMA Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim ini terdiri atas enam bab dengan 22 pasal. Aturan ini berisi tugas dan tujuan mejelis taklim, pendaftaran, penyelenggaraan yang mencangkup pengurus, ustaz, jamaah, tempat, dan materi ajar.

Dalam draf PMA Majelis Taklim tersebut, Pasal 6 ayat 1 PMA ini mengatur majelis taklim harus terdaftar pada kantor Kementerian Agama. Kemudian, pada poin 2 disebutkan pengajuan pendaftaran harus dilakukan secara tertulis.

Menteri Agama Fachrul Razi berargumentasi, regulasi tersebut akan memudahkan Kemenag mengucurkan bantuan dana kepada majelis taklim. Sebab, menurutnya jika tidak ada regulasi yang mengatur maka tidak bisa memberikan bantuan kepada majelis taklim. Selama ini, menurutnya, belum ada payung hukum yang mengatur tentang majelis taklim di Indonesia.

"Peraturan majelis taklim dibuat supaya kita mudah ngasih bantuan ke mereka. Kalau enggak ada dasar hukumnya kita tidak bisa ngasih bantuan," ujar Fachrul.

photo
Lima Fokus Muhammadiyah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement