Jumat 29 Nov 2019 14:14 WIB

Wajah Islam di Negeri Dua Benua

Saya termasuk Muslim yang takjub akan cerita-cerita perkembangan Islam di Turki

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Deny Asyari, Suara Muhammadiyah
Foto: Suara Muhammadiyah
Deny Asyari, Suara Muhammadiyah

Oleh Deni Asyari

Saya termasuk salah satu Muslim Indonesia yang takjub akan cerita-cerita perkembangan Islam di Turki. Bahkan mulai cerita sejak masa Turki Ustmani, Al Fatih, hingga masa pemerintahan Recep Toyyib Erdogan.

Turki adalah sebuah impian tentang konsep negara Islam yang diimaginasikan. Apalagi di kota ini pula terdapat banyak peninggalan sejarah Islam yang salahsatunya peninggalan keluarga Rasulullah, yang dirawat melalui museum Topkapi, yang dulunya museum ini pernah menjadi istana (Saray)

Memasuki negara dua benua ini, imajinasi saya langsung tertuju pada pola kehidupan masa Fatih Sultan Mehmet dan saat-saat pertumbuhan kebangkitan Islam. Diantara suasana yang terbayang adalah, suara azan yang berkumandang dari masjid ke masjid, ribuan jamaah yang berbondong-bondong menunai shalat di masjid-masjid, pergaulan dan gaya pakaian masyarakat yang islami, dan banyak hal lainnya.

Apalagi, Turki di bawah pemerintahan Recep Tayyib Erdogan, sangat kental dengan idiom melawan sekularismenya. Bahkan salahsatu kalimat yang tajam diungkapkan oleh Erdogan adalah ” jangan mengaku Muslim, jika pada saat yang sama anda mengaku sekuler “. Dalam bahasa lainnya, Sekularisme telah gagal membangun Turki, dan kami akan menggantikannya.

Idiom ini telah mendorong banyaknya perempuanperempuan Negeri Permadani ini berpakaian “muslimah” , lembaga pendidikan Islam kian menjamur dimana-mana, pendirian bank-bank yang anti Riba, serta banyak lainya.

Turki Yang Disaksikan

Hari pertama memasuki Turki, tepatnya di ibu kota Turki, yaitu Ankara. Salah satu agenda saya adalah shalat magrib di masjid tertua dan terbesar di Turki, yaitu masjid Kocatepe. Masjid ini dikenal dengan landmarknya kota Ankara, yang didirikan pada tahun 1940 an, dengan kapasitas jamaah 24.000.

Saat memasuki waktu magrib, saya menuju masjid Kocatepe. Diluar dugaan, masjid yang luasnya bisa menampung 24.000 jamaah itu, namun jamah yang datang tidak lebih dari 30 jamaah. Itu pun juga jamaah kategori orang-orang dewasa.

Saat usai shalat, saya sempat bertanya dengan salah satu warga Indonesia yang bertugas dan menetap di Ankara. Pertanyaan saya khususnya tentang jamaah shalat magrib di masjid tersebut. Dengan spontan dia menjawab, bahwa kondisi jamaah yang disaksikan di masjid tempat saya menunaikan shalat magrib tadi, bisa dirasakan juga di berbagai masjid lainnya di Turki.

Bahkan dia menyebutkan, hampir setiap masjid, sepi akan jamaah yang shalat berjamaah. Bahkan sejak menetap di Ankara, tidak melihat anak-anak kecil yang shalat di masjid. Tidak hanya itu, sebagian besar masjid, kumandang azannya, tidak lagi dilakukan oleh muadzin, melainkan oleh rekaman kaset/CD.

Sempat tidak percaya dengan jawaban warga Indonesia ini, namun demikian faktanya yang saya lihat dan saksikan. Bagaimana mungkin di tengah masjid bersejarah yang begitu besar, dengan kapasitas jamaah 24.000 orang, namun untuk shalat magribnya tidak lebih dari 30 orang jamaah.

Ketidakpercayaan yang saya alami ini tentu wajar, sebab sewaktu perjalanan ke kota Beijing, di Tiongkok 10 bulan yang lalu, saya juga melakukan kunjungan dan shalat di masjid terbesar dan tertua di kota Beijing yaitu masjid Neujie. Masjid ini dibangun pada tahun 996 pada masa pemerintahan dinasti Liao.

Saat melaksanakan shalat zuhur, para jamaah datang dari tempat-tempat mereka bekerja untuk menunaikan shalat. Bahkan sebelum azan, melalui microfon masjid, terdengar alunan ayat-ayat suci yang dibacakan jamaah. Setidaknya saat shalat berjamaah, terdapat sekitar 500 an jamaah yang ada di dalam masjid, hingga sampai saff belakang terlihat full.

Berbeda dengan Negeri Tirai Bambu yang dikenal sebagai negara komunis, Turki sebagai negara Islam, justru memperlihatkan kondisi sebaliknya. Bahkan saat pelaksanaan shalat Jumat pun, anak-anak juga tidak banyak yang datang ke masjid-masjid. Namun saya masih berpikir optimis dan penuh keyakinan, bahwa di Masjid di luar Ankara, mungkin lebih aktif dan memiliki jamaah yang banyak. Namun jika keyakinan dan optimisme saya tidak terbukti, lantas inikah yang dimaksud dengan konsep negara Muslim yang diimaginasikan itu?

Tidak sampai disana, pada hari kedua, saya menyempatkan untuk berjalan-jalan diseputaran pusat kota Ankara. Ada beberapa lokasi yang saya kunjungi secara acak, diantaranya pusat penjualan buku-buku, pusat perbelanjaan (Mall), dan pusat-pusat perkantoran.

Ketertarikan saya mengunjungi beberapa tempat itu, untuk melihat gaya hidup dan budaya fashion masyarakat Turki. Sebab dalam cerita-cerita yang divisualisasikan dan digambarkan, masyarakat Turki, memiliki budaya yang sangat religius. Perempuan-perempuannya ke luar rumah dengan menggunakan pakaian gamis dan kerudung yang menutup aurat.

Namun pandangan hari pertama, justru sangat sulit untuk menemukan perempuan-perempuan berjilbab, baik itu remaja maupun orang-orang dewasa. Semua perempuan yang saya temui di beberapa lokasi tadi, justru mereka tampil sangat modis, seksi dan tentunya tanpa menutup aurat.

Tidak hanya itu, selain gaya fashionnya yang 100 % ala Eropa, kebiasaan merokok bagi kalangan perempuan di lokasi tempat kerja, di lingkungan kampus, dan di mall, suatu yang sangat biasa. Bahkan sejauh mata memandang, justru saya melihat, lebih banyak perempuan yang merokok dibandingkan laki-laki.

Melihat budaya kehidupan mereka sehari-hari di Ankara Turki, seakan-akan saya tidak sedang berada di wilayah Ustmani.

Melainkan seperti berada dalam suasana kehidupan sehari-hari di Eropa. Posisinya yang terletak antara dua benua, yaitu Asia dan Eropa, lebih banyak muncul kepermukaan, budaya dan gaya hidup Eropa.

Bahkan dalam beberapa pertemuan formal rombongan kami dengan beberapa stokeholder pemerintahan Turki, belum saya temukan, saat membuka dan mengawali acara dengan ucapan salam ” Assalamu’alaikum’ , sebagaimana yang menjadi tradisi wajib bagi masyarakat Indonesia di tanah air.

Beberapa catatan singkat selama perjalanan saya di negeri dua benua ini, seperti menutup ruang imajinasi dan ruang kebatinan saya tentang Turki sebagai negara Islam atau negara yang memiliki tradisi kehidupan Islami. Tapi tentu kita masih bersyukur, Turki di bawah pemerintahaan Recep Tayyib Erdogan, memiliki komitmen yang kuat untuk menjaga Turki sebagai negara Islam, walaupun beberapa kebudayaan dan tradisi yang saya temui, bisa jadi bagian peninggalan tradisi lama yang akan diubah Presiden Recep Tayyib Erdogan untuk mewujudkan tatanan negara Islam yang diimpikan.

Apalagi, kita tahu bahwa walaupun Partai AKParti (Partainya Erdogan) yang menang dalam pemilu Turki, namun untuk wilayah-wilayah besar seperti Ankara dan Istambul dimenangkan oleh Partai CHParti (Partainya Attaturk) yang orang menyebutkan sebagai hulunya sekuler.

Sehingga wajar, proses islamisasi yang dilakukan Recep Tayyib Erdogan dalam 1 dekade terakhir ini, belum berhasil dilakukan, terutama di wilayah kuasa partainya Attaturk, seperti di Ankara dan Istambul.

Bisa jadi untuk wilayah-wilayah lain, tempat berkuasanya partai AKParti, kehidupannya lebih religius, seperti di wilayah Bursa dan Konya. Hanya saja kami tidak berkesempatan untuk berkunjung ke salahsatu wilayah AKParti berkuasa tersebut.

Namun setidaknya, kita tahu bahwa bahwa Turki menjadi saksi sejarah, dimana Islam pernah hilang di tanah ini, dan kemudian secara perlahan dibangkitkan kembali, walau mungkin masih terkesan lambat. Kita tentu berharap, kekuatan dan kejayaan Islam kembali hadir di negeri permadani ini.

Melihat goresan singkat ini, saya sangat sadar, bahwa budaya dan kehidupan Islam di tanah Air kita jauh lebih baik dan nyaman. Masjid-masjid masih penuh dengan aktivitas dan jamaah, lembaga-lembaga pendidikan agama untuk anak-anak kian menjamur, kebebasan melaksanakan ibadah dan berbagai perayaan masih terbuka, budaya fashion bagi perempuan masih terjaga, dan budaya malu masih sangat kuat dan kental. Walaupun secara infrastruktur, Indonesia masih kalah dibandingkan Turki.

Dan tentu, sebagai sebuah goresan singkat dan terbatas mata memandang, tulisan ini, bisa saja tidak demikian nyatanya. Akan tetapi beberapa hari perjalanan singkat ini, setidaknya, saya memiliki sebuah imajinasi sendiri yang berbeda dari imajinasi saya sebelumnya. Tulisan ini bukan berarti tidak ada yang baik dan menarik yang bisa kita contoh dari masyarakat Turki. Banyak hal yang menjadi inspirasi dari Turki untuk kita masyarakat Indonesia. Dalam goresan singkat yang lain, saya akan menulis sisi lain tentang Turki, yang banyak hal perlu kita contoh. (D)

Catatan Perjalanan Singkat Di Ankara Turki, 25 – 28 November 2019

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement