Jumat 29 Nov 2019 08:55 WIB

Usul Pilpres oleh MPR, Pengamat Ingatkan Era Rezim Otoriter

Wacana pilpres kembali oleh MPR dinilai sebagai pengkhianatan terhadap reformasi.

Rep: Mabruroh, Antara/ Red: Andri Saubani
Direktur eksekutif Voxpol, Pangi Syarwi Chaniago memberikan penjelasan kepada wartawan di salah satu restoran di daerah Cikini, Menteng Jakarta Pusat, Selasa (9/4).
Foto: Republika/Riza Wahyu Pratama
Direktur eksekutif Voxpol, Pangi Syarwi Chaniago memberikan penjelasan kepada wartawan di salah satu restoran di daerah Cikini, Menteng Jakarta Pusat, Selasa (9/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Analis politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai salah satu buah reformasi adalah perubahan mendasar dalam mekanisme pemilihan presiden (pilpres) yang dilakukan secara langsung. Namun, bila kemudian muncul wacana pilpres kembali oleh MPR, Pangi menyebut sebagai pengkhianat reformasi.

“Perubahan ini bukanlah sesuatu yang ujug-ujug terjadi, pengalaman pahit berada di bawah rezim otoriter dengan legitimasi absolut MPR sebagai lembaga tertinggi negara adalah pokok perkaranya,” kata Pangi dalam siaran pers yang diterima Republika, Jumat (29/11).

Baca Juga

Pangi melanjutkan, saat itu, MPR berubah wujud menjadi stempel kekuasaan. Sedangkan, presiden menjelma bagai dewa yang antikritik, menjadi feodal seutuhnya, masyarakat dibungkam dan kebebasan berekspresi dikebiri.

“Perjuangan panjang kaum intelektual dan dukungan dari masyarakat luas dan berbagai kelompok kepentingan akhirnya menumbangkan rezim otoriter beserta perangkat pendukungnya,” kenang Pangi.

Pangi menyebutkan, transisi dari rezim otoriter ke era demokratis memang tidak selalu berjalan mulus. Namun menurut Pangi, itu tidak serta-merta menjadi alasan untuk kembali ke fase kelam di bawah sistem yang dulu telah melahirkan otoritarianisme.

“Komplikasi persoalan pemilu langsung harus diselesaikan dengan pikiran jernih bukan reaksioner, juga bukan dengan mengambil jalan pikiran pintas karena malas bersitegang dengan pikiran dan gagal dalam membangun dialektika berpikir,” kata dia.

Menurut Pangi, indikasi malas berpikir dan gagal dalam berlogika itu tergambar dengan sangat jelas, ketika problematika dan solusi yang ditawarkan tidak nyambung sama-sekali. Jika persoalan politik berbiaya tinggi menjadi alasan, politik uang dan keterbelahan publik yang melahirkan konflik menjadi argumen utama untuk menghapus pemilu langsung maka solusinya bukan serta-merta mengganti sistem.

Lalu, sambung dia, apakah juga dipikirkan konsekuensi apabila presiden dipilih MPR. Elite dinilai Pangi, mudah sekali melupakan sejarah bagaimana instabilitas pemerintahan, di tengah jalan presiden sangat mudah dijatuhkan.

“Dijatuhkannya Gus Dur (Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid) di tengah jalan oleh MPR mestinya cukup menjadi pembelajaran penting bagi kita betapa rapuhnya legitimasi presiden dipilih melalui mekanisme MPR,” ungkap Pangi.

Menurutnya, masih sangat terbuka solusi dan alternatif lain untuk menekan dan meminimalisir hal tersebut melalui paket sekelas Undang-undang Pemilu. Bukan justru memilih jalan pintas amandemen konstitusi.

“Selama upaya perbaikan sistem pemilu belum dilakukan secara optimal, maka sangat naif sekali rasanya menyalahkan pilihan sistem ini dan kemudian menggantinya dengan pilihan sistem lain yang telah terbukti membawa bangsa ini ke dalam sejarah kelam. Atau jangan-jangan mereka yang dulu merasakan nikmatnya kekuasaan dalam sistem otoriter itu sedang menyusun kekuatan, mereka sudah tidak sabar untuk kembali berkuasa?” kata Pangi.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj menjelaskan aspirasi kiai NU soal pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Jika menimbang dan melihat mudharat dan manfaat pilpres langsung, kata Said Aqil, jelas terlihat itu berbiaya tinggi.

"Terutama biaya sosial ada konflik yang sangat mengkhawatirkan dan mengancam," ujar Said.

Said Aqil mencontohkan seperti kejadian sewaktu Pemilu Serentak 2019 lalu. "Keadaan kita ini mendidih, panas, sangat-sangat mengkhawatirkan. Apakah setiap lima tahun harus seperti itu," ujar Said Aqil.

Said mengatakan, para kiai dan ulama saat Munas di Pondok Pesantren Kempek Cirebon pada 2012, berpikir mengusulkan pilpres kembali kepada MPR RI demi kuatnya solidaritas persatuan dan kesatuan Republik Indonesia. Namun,  Said Aqil menegaskan, bahwa itu hanya suara kiai dan para alim ulama dan bukan suara Pengurus Tanfiziah (Dewan Pelaksana) PBNU.

"Itu suara kiai-kiai, bukan tanfiziah. Kalau tanfiziah, namanya konferensi besar (Konbes) di bawah Muktamar. Di NU begitu," kata Said Aqil.

Said Aqil mengatakan, hasil Munas di masa pemerintahan Presiden Susilo Yudhoyono itu diikuti para ulama besar NU. Salah satu yang hadir adalah Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama sejak 1999 hingga 2014, KH Sahal Mahfudz, ikut acara sebelum wafat pada 25 Januari 2014.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement