REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Setelah mendapatkan protes dan kritik dari para seniman dan penggiat budaya, rencana pembangunan hotel bintang lima di kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM) akhirnya dibatalkan. Kepastian pembatalan itu dengan dipotongnya anggaran revitalisasi TIM yang terkait pembangunan hotel bintang lima.
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi menyebut, hasil kesepakatan di Badan Anggaran (Banggar), anggaran ke PT Jakarta Propertindo (Jakpro) untuk pembangunan hotel di TIM dalam Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) sudah dipotong. Dengan demikian, ia memastikan, rencana pembangunan hotel bintang lima dalam proyek revitalisasi TIM sudah dibatalkan.
"Enggak, enggak, enggak ada hotel. Sudah kita potong Rp 400 miliar. Cuma kita kasih untuk TIM Rp 200 miliar. Tidak ada boleh hotel. Revitalisasi ya revitalisasi yang baiklah. Jangan sampai ada komersialnya. Kiri-kanan kan sudah ada hotel," kata Prasetio kepada wartawan, Kamis (28/11).
Prasetio yang juga Ketua Banggar ini menekankan, proses revitalisasi TIM bukan berarti membangun bangunan baru seperti hotel bintang lima yang menurutnya tidak perlu. Sebab, ia melihat, seniman dan budayawan tidak membutuhkan fasilitas hotel bintang lima.
Menurut dia, hadirnya hotel bintang lima itu justru terkesan mengomersialisasikan kawasan TIM yang kental dengan kebebasan kreativitas seni dan budaya. "Jangan sampai hotel bintang lima di TIM ini hanya disasar unsur komersialnya karena ini ruang kreativitas seniman. Tidak bisa kita menyasar komersial, justru akan menghilangkan kreativitas seniman dan budayawan itu," kata dia menegaskan.
Dengan dipangkasnya anggaran revitalisasi TIM khusus pada pembangunan hotel bintang lima, maka turun pula Penyertaan Modal Daerah (PMD) ke PT Jakpro oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI. Secara keseluruhan, PMD untuk Jakpro dipangkas Rp 1,9 triliun. Komisi B DPRD DKI Jakarta sebelumnya merekomendasikan PMD untuk Jakpro sebesar Rp 4,6 triliun.
Terkait pemangkasan anggaran revitalisasi TIM, khususnya pada pembangunan hotel bintang lima tersebut, Sekretaris Perusahaan PT Jakpro Hani Sumarno mengatakan, tidak bisa berbuat banyak dengan pemotongan anggaran tersebut. Namun, ia akan menyesuaikan dengan pihak manajemen terkait besaran anggaran baru yang disepakati DPRD setelah pemangkasan.
"Aspirasi yang disampaikan dewan kami terima. Jakpro kan penugasan, semua langkah yang dilakukan kami harus atas persetujuan dari pihak yang menugaskan, dalam hal ini Pemprov. Nanti kita coba, belum ada hasil akhir. Baru kemarin dipotong, kami bawa ke manajemen untuk kemudian dilakukan perubahan," kata Hani.
Hani menjelaskan, wisma atau hotel di TIM merupakan bagian kecil dari rencana revitalisasi gedung yang di dalamnya ada plaza untuk para seniman berdiskusi dan berekpresi, tempat latihan, perpustakaan, serta galeri seni Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin.
Sebenarnya, kata dia, tahap pertama adalah pembangunan gedung baru yang didalamnya ada hotel tersebut. Setelah groundbreaking sudah ada kontraknya. Karena itu, ia memastikan, setelah pemangkasan ini pihaknya akan berbicara terlebih dahulu dengan berbagai pihak, termasuk kontraktor karena anggaran yang disiapkan hanya sebesar Rp 200 miliar.
Sebelumnya, belasan seniman dan budayawan yang sering terlibat di TIM dan mereka yang peduli dengan nasib kesenian dan kebudayaan di sana menyatakan protes kerasnya kepada Pemprov DKI Jakarta terkait revitalisasi kawasan seni dan budaya TIM ini.
Protes keras ini dikarenakan banyak unsur kebebasan berkesenian dan budaya mulai tersingkirkan dengan revitalisasi besar-besaran kawasan TIM ke arah komersialisasi. Puncaknya adalah penolakan para seniman dan budayawan dengan rencana PT Jakpro membangun hotel bintang lima di kawasan tersebut.
Sastrawan dan budayawan terkenal Radhar Panca Dahana yang sudah bertahun-tahun hidup dengan nuansa seni dan budaya di TIM menyatakan protes kerasnya. Ia bersama belasan para seniman dan budayawan mendatangi DPRD menyampaikan penolakan pembangunan hotel berbintang lima di kawasan TIM ini.
"Revitalisasi TIM ini, termasuk pembangunan hotel bintang limanya harus dihentikan atau diubah sesuai keinginan dan kemauan para seniman dan budayawan," ujar Radhar.
Penulis esai dan kumpulan puisi serta sajak ini menilai, pihak Pemprov DKI jangan keras kepala memaksakan pembangunan hotel bintang lima di kawasan TIM. Ia menyarankan, ada baiknya Pemprov DKI mengajak kawan kawan seniman dan budayawan, mendengarkan aspirasi di seniman dan budayawan yang sebenar-benarnya budayawan.
Ia menilai, ada baiknya dalam konteks revitalisasi TIM seluruh proyek izin kontraknya di moratorium. Termasuk, kata dia, soal pembangunan gedung hotel berstandar bintang lima. "Jadi, tidak ada komersialisasi apa pun di tanah TIM," kata dia menambahkan.
Kalau mau dilanjutkan, sambung dia, perlu dibicarakan dulu secara jernih oleh para seniman dan jangan lupa menyerap aspirasi mereka. "Hindari upaya profit oriented, dalam pengelolaan seni dan budaya, ini harus dipegang oleh Pemprov DKI Jakarta," kata Radhar.