REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai wacana penambahan masa jabatan presiden harus dipisahkan dari kedudukan Presiden Joko Widodo yang saat ini tengah menjabat. Menurut Refly, jika ada penambahan masa jabatan, seharusnya berlaku untuk presiden setelah Jokowi.
"Jadi Presiden Jokowi tetap menjabat selama masa lima tahun dan sudah dua periode, dan selesai masa jabatan Jokowi sampai 2024. Yang kita pikirkan ini adalah bagaimana desain ke depannya," kata Refly dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta, Ahad (24/11).
Terkait bagaimana masa jabatan presiden yang ideal, ia mengusulkan dua hal. Pertama, masa jabatan presiden cukup berlaku satu periode dengan lama masa kepemimpinan enam hingga tujuh tahun. Kedua, lebih dari satu periode namun tidak berturut-turut.
Dengan demikian, lanjut Refly, ada keuntungan yang bisa didapat. Pertama, presiden yang menjabat bisa berkonsentrasi di masa jabatannya tanpa diganggu ingin dipilih kembali. Kedua, nantinya tidak akan ada lagi inkumben di dalam pemilihan presiden.
Sehingga menurutnya tidak ada lagi potensi penyalahgunaan kekuasaan dengan menggunakan aparatur, dan kekuatan yang dimiliki negara. "Selain potensi abuse of power biar mereka yang pegang kekuasaan kepresidenan berkonsentrasi penuh dengan jabatannya," ujarnya.
Selain itu Refli juga menyoroti tahun pertama pemerintahan Jokowi yang dianggap kurang efektif. Pasalnya dalam enam bulan pertama Jokowi baru melakukan penyesuaian terhadap nomenklatur kementerian. Baru di 2,5 tahun mulai bekerja.
"Tapi kalau saya lihat karena jadwal kampanye panjang, dua tahun terakhir sudah sibuk bagaimana re-election. Sehingga sadar tak sadar baik istana maupun followersnya, penasihatnya akan mengarahkan program yang populis bisa membuat elektabilitasnya bertambah," ucapnya.