Sabtu 23 Nov 2019 01:00 WIB

Jumlah Perkawinan di Bawah Usia 18 Tahun di Atas Rata-Rata

Angka rata-rata nasional perkawinan di bawah 18 tahun yakni sebesar 11,2 persen.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Gita Amanda
Ilustrasi Pernikahan Dini
Foto: Republika/ Wihdan
Ilustrasi Pernikahan Dini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) mengungkapkan sebanyak 20 provinsi di Indonesia mencatatkan persentase perkawinan di bawah usia 18 tahun masih di atas angka rata-rata nasional. Sejauh ini angka rata-rata nasional perkawinan di bawah 18 tahun yakni sebesar 11,2 persen.

"Tertinggi di Sulawesi Barat dengan angka 19,4 persen," ujar Deputi IV Bidang Koodinasi Perlindungan Perempuan Dan Anak Kemenko PMK Ghafur Akbar Dharmaputra dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 bertajuk "Perlukah Sertifikasi Perkawinan?", di Kemenkominfo, Jakarta, Jumat (22/11).

Baca Juga

Dari data yang ada, dia melanjutkan, tampak bahwa perkawinan anak yang tertinggi terjadi di Sulbar dengan 19,4 persen. Di urutan kedua, sambung dia, terjadi di Kalimantan Tengah dengan 19,1 persen. Selanjutnya secara berurutan, terjadi di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Kalimantan Selatan (Kalsel), Kalimantan Barat (Kalbar), Sulawesi Tengah (Sulteng), Nusa Tenggara Barat (NTB), Gorontalo, Sulawesi Utara (Sulut), Bengkulu, Bangka Belitung (Babel), Sulawesi Utara (Sulsel), Maluku Utara (Malut), Jawa Barat (Jabar), Jawa Timur (Jatim), Jambi, Kalimantan Utara (Kaltara), Sumatra Selatan (Sumsel), Kalimantan Timu (Kaltim), dan Papua.

Dari fenomena tersebut, Akbar menyebutkan, ada sejumlah penyebab terjadinya praktik perkawinan anak. Antara lain, sambung dia, dilatarbelakangi faktor ekonomi, nilai budaya, regulasi, globalisasi, dan ketidaksetaraan gender.

“Dalam hal regulasi, misalnya, pada UU tentang Perkawinan 1/1974 Pasal 7 Ayat (1) tentang batas minimum usia perkawinan, pada anak perempuan disebutkan usia 16 tahun. Aturan itu sudah tidak memadai dan diskriminatif. Bersyukur dalam beleid yang baru, sudah disamakan menjadi 19 tahun,” katanya.

Hanya saja, Akbar menegaskan, pelaksanaan UU No. 16 Tahun 2019 masih perlu peraturan lebih lanjut. Demi bisa mendukung upaya pemerintah melakukan sosialisasi dan pembinaaan kepada masyarakat mengenai pencegahan perkawinan anak, bahaya seks bebas dan perkawinan tidak tercatat.

“Jadi semua ini dilakukan demi mempersiapkan keluarga muda untuk Indonesia unggul-Indonesia maju,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement