REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dipilihnya Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai salah satu bos BUMN menuai polemik. Banyak pihak yang menolak, tapi ada juga yang mendukungnya untuk memberantas mafia di perusahaan plat merah tersebut.
Ahok sendiri pernah mendekam di jeruji besi karena kasus penodaan agama. "Saya kira ini yang harus kita cermati sehingga jangan kita tempatkan Ahok sebagai orang yang menjadi monster yang menakutkan atau sebaliknya menjadi dewa bagi orang-orang tertentu. Karena akan terus menimbulkan pecahan pendapat atau opini yang sesungguhnya tidak penting untuk dipertahankan dalam membangun bangsa," kata peneliti dari Parameter Research Cansultant, Edison Lapalelo, Kamis (21/11).
Seharusnya, kata dia, Ahok ditempatkan secara proposional yang sama dalam hak sebagai warga Negara Indonesia. Artinya dianggap atau dipandang professional dalam hal ini dan tidak melanggar atau menabrak aturan-aturan normatif di Indonesia.
"Jadi ya silakan saja Ahok diangkat sebagai Direktur BUMN, tetapi kalau tidak memenuhi aturan maka tidak perlu diangkat atau dilantik," tutur dia.
Sementara soal adanya permintaan Ahok untuk mundur dari PDI Perjuangan jika benar diangkat jadi direktur utama, kata Edison, hal itu dikembalikan pada aturan di BUMN. Ia berharap BUMN bisa menjelaskan kepada publik apakah wacana Ahok ini melanggar aturan atau tidak supaya masyarakat ini tahu bahwa Ahok ini melanggar aturan atau tidak.
"Tidak usah kita membangun narasi bahwa yang menolak Ahok ini adalah orang-orang yang ada di dalam lingkaran yang tidak baik alias suka korupsi atau sebaliknya yang menerima dan mendukungnya Ahok adalah orang-orang baik di dalam lingkaran tidak korupsi," urai dia.
Edison mengatakan, Ahok jangan di jadikan korban dari dua persepsi yang berbeda kalau tidak diperjelas di publik. Karena akan timbul prasangka asumsi, bahwa Ahok jadi umpan, mana orang-orang yang sudah berkawan, mana orang orang masih melawan.