REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menyatakan kebijakan electronic road pricing (ERP) atau jalan berbayar di akses masuk ke Jakarta dari Depok, Tangerang, dan Bekasi bergantung pada pembahasan berbagai skema pendukung yang sampai saat ini masih berjalan. Skema-skema pendukung yang dibahas, di antaranya skema hukum, kelembagaan, pembiayaan, dan skema teknik
Kepala BPTJ Bambang Prihartono menjelaskan pembahasan menyangkut skema pendukung sudah dimulai beberapa bulan lalu di antaranya melalui Focus Group Discussion (FGD). BPTJ melakukan pembahasan dengan semua pemangku kepentingan atau stakeholder terkait, termasuk dengan pemerintah daerah.
“Pembahasan kemudian berlanjut lebih spesifik baik dengan instansi lain maupun internal dengan tenaga ahli,” kata dia, Kamis (21/11).
Dari berbagai skema tersebut, Bambang menjelaskan, pembahasan terkait skema hukum belum tuntas. Sebab, ia menyatakan, BPTJ belum menemukan payung hukum yang sesuai untuk penerapan ERP di jalan nasional.
Apabila mengacu pada PP Nomor 32 tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak serta Manajemen Kebutuhan Lalu-Lintas, implementasi ERP memang tidak dimungkinkan di jalan nasional. “Kami terus berupaya untuk memecahkan masalah menyangkut skema hukum ini," kata dia.
Sesuai lingkup kewenangan, BPTJ hanya berwenang pada area perbatasan antarwilayah yang merupakan jalan nasional. Hal ini berbeda dengan DKI Jakarta yang memiliki kewenangan implementasi di jalan-jalan di dalam wilayahnya.
"Secara paralel kami juga membahas skema-skema lain seperti skema pembiayaan, skema teknis ataupun skema kelembagaan, sehingga jika nanti skema hukum terpecahkan, sudah tersusun formula kebijakan yang siap diimplementasikan,” ucap Bambang.
BPTJ merencanakan penerapan ERP pada tahun depan mengingat tingginya pergerakan manusia dari kota penyangga ke Ibu Kota. Selain itu, penerapan kebijakan ERP dirasakan sudah mendesak mengingat pertumbuhan pergerakan di Jabodetabek yang luar biasa.
Berdasarkan data pada 2015, pergerakan manusia di Jabodetabek tercatat masih sekitar 47,5 juta pergerakan/hari. Namun, data pada 2018 menyebut pergerakan sudah meningkat menjadi 88 juta pergerakan/hari.
Pemerintah telah menerapkan kebijakan ganjil-genap di pintu tol yang mengarah ke DKI. Namun, ia mengatakan, kebijakan tersebut tidak mungkin selamanya efektif mengendalikan kemacetan tidak mungkin efektif selamannya.
Sebab, indikasi yang muncul adalah kemacetan akan meningkat pada jam-jam dan waktu tertentu. Khususnya, di ruas-ruas jalan yang menjadi rute komuter para pengguna kendaraan pribadi.
Di sisi lain, Bambang meminta masyarakat tidak perlu resah dengan recana penerapan ERP di jalan-jalan yang menjadi pintu masuk ke Ibu Kota. Sebab, ia mengatakan, pemerintah tidak mungkin menerapkan kebijakan ini tanpa sosialisasi dan uji coba.
Bambang menjelaskan ERP di jalan-jalan yang mengarah ke DKI ini diberlakukan sesuai dengan tingkat kemacetan. “Jadi ERP bukan berarti kendaraan yang lewat harus membayar. Namun, kendaraan yang menyebabkan kemacetan pada ruas jalan tertentu akan dikenakan biaya atau yang kita sebut dengan congestion charge,” ungkap Bambang.
Menurut Bambang, metode ini menunjukkan prinsip berkeadilan karena masyarakat bisa memilih tetap menggunakan kendaraan pribadi dan dikenakan biaya ERP atau berpindah menggunakan angkutan umum. Pengenaan biaya dari kebijakan ERP ini akan menjadi pendapatan negara bukan pajak yang sepenuhnya akan digunakan untuk peningkatan penyelenggaraan transportasi umum di wilayah tersebut.
Ia juga meminta masyarakat tidak perlu khawatir mobilitasnya akan terganggu. Sebab, penerapan kebijakan ERP bakal dibarengi dengan kebijakan pendukung seperti pembenahan angkutan umum.
“Kemacetan di Jabodetabek sudah menimbulkan banyak kerugian dan menurunkan kualitas hidup manusia dan lingkungan, oleh karena itu pemecahan masalah kemacetan butuh partisipasi semua pihak,” kata Bambang.
Data Bappenas 2017 menyebutkan, kerugian akibat kemacetan di Jakarta sekitar 65,7 triliun rupiah/tahun. Angka tersebut tentu akan berkembang lebih besar untuk lingkup Jabodetabek.
Selain itu, polusi udara menyebabkan kualitas udara di langit Jakarta dan kota-kota di sekitarnya sering memburuk pada level yang membahayakan kesehatan dan menempati ranking atas terburuk di dunia.