Kamis 21 Nov 2019 01:02 WIB

Gagal Bayar Asuransi, Berkacalah pada Kasus Bakrie Life

Agar tidak gagal bayar perlu analisis mendetail penilaian risiko dalam asuransi.

Nidia Zuraya
Foto: republika
Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya*

Dalam paparan bertajuk 'Resiko Ekonomi Global dan Implikasinya terhadap Indonesia' yang dirilis pada awal September lalu Bank Dunia menyatakan sistem keuangan di Indonesia pada umumnya tahan terhadap guncangan. Tapi, menurut kreditor global ini, ada dua area yang memerlukan penanganan segera, yakni konglomerasi finansial dan lemahnya sektor asuransi Indonesia.

Masalah yang muncul saat ini adalah dua perusahaan asuransi jiwa nasional terbesar, yakni Asuransi Jiwasraya dan Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912, tidak mampu memenuhi kewajibannya alias gagal bayar.

Kasus gagal bayar di industri asuransi Indonesia bukan kali ini terjadi. Pada 2008 silam, kasus yang sama menimpa pemegang polis produk asuransi jiwa berbasis investasi Diamond Investa yang diterbitkan oleh PT Asuransi Jiwa Bakrie (Bakrie Life).

Saat itu Bakrie Life terlalu agresif menginvestasikan dana nasabah di pasar modal. Padahal pada masa itu kondisi pasar modal sedang mengalami tekanan akibat krisis di Amerika Serikat (AS). Krisis di AS itu membuat portofolio investasi rontok, sehingga menelan dana  nasabah hingga Rp 500 miliar.

Manajemen Bakrie Life berjanji akan membayar ganti rugi secara bertahap. Namun, faktanya, Bakrie Life masih menunggak ke nasabah sebesar Rp 270 miliar hingga izin usaha perusahaan dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 17 April 2017. 

Dan, hingga hari ini kasus gagal bayar Bakrie Life ternyata belum juga usai. Kasus ini kembali muncul awal tahun ini setelah ada laporan dari 16 pemegang polis asuransi jiwa Bakrie Life ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.

Sementara AJB Bumiputera gagal bayar klaim asuransi kepada nasabahnya karena mismatch antara aset dan kewajiban, dimana kewajibannya lebih besar dibandingkan asetnya.

Per 31 Desember 2018, AJB Bumiputera mencatatkan defisit lebih dari Rp 20 triliun. Adapun, aset Bumiputera sebesar Rp 10,28 triliun, sedangkan kewajibannya mencapai Rp 31 triliun. Walhasil, ada selisih antara aset dengan kewajiban sebesar Rp 20,72 triliun.

Kondisi yang sama juga dialami Asuransi Jiwasraya. Pada Oktober 2018, surat dari Asuransi Jiwasraya ke bank mitra beredar ke media dan publik. Surat itu berisi tentang keterlambatan pembayaran klaim produk asuransi jiwa berbasis investasi.

Hitung-hitungan manajemen, total tunggakan pembayaran klaim produk JS Saving Plan mencapai Rp 802 miliar sampai 10 Oktober 2018. Jiwasraya berjanji akan membayarkan klaim secara bertahap mulai Juni 2019. Tapi hingga hari ini tak kunjung terealisasi.

Ketidakmampuan Jiwasraya untuk membayarkan klaim bisa dilihat dari seluruh indikator keuangan perusahaan yang merah. Jumlah aset Jiwasraya pada kurtal III 2019 hanya Rp 25,6 triliun, sementara utangnya Rp 49,6 triliun.

Selain itu, Jiwasraya mengalami kerugian sebesar Rp 13,74 triliun per September 2019. Sebab premi yang dikumpulkan Jiwasaraya tergerus habis-habisan untuk pembayaran bunga jatuh tempo serta pokok polis nasabah yang tidak melakukan perpanjangan kontrak produk JS Saving Plan.

Seperti Bakrie Life, kasus gagal bayar Jiwasraya dipicu oleh kegiatan investasi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi pelat merah tersebut. Jiwasraya diketahui banyak berivestasi ke dalam instrumen saham, tetapi bukan sembarang saham melainkan 'saham gorengan'.

Saham gorengan terlihat menggiurkan karena harganya naik sangat tinggi dan memberikan keuntungan bagi investor dengan nilai imbal balik yang cukup bagus. Bahkan mungkin keuntungan yang didapatkan bisa diatas rata-rata saham yang diperdagangkan di lantai bursa.

Namun meroketnya harga saham tersebut bukan karena faktor fundamental yang jelas dari perusahaan tersebut, melainkan karena ada pihak-pihak yang menggerakkan harga saham tersebut.

Dalam kasus gagal bayar AJB Bumiputera dan Jiwasraya, Bank Dunia memproyeksi ada tujuh juta jiwa orang dengan lebih dari 18 juta polis yang terlibat. Mayoritas merupakan masyarakat dengan pendapatan rendah dan menengah.

Menurut Bank Dunia, kedua perusahaan asuransi ini mungkin menjadi tidak likuid dan membutuhkan perhatian segera. Jika tak segera ditangani dengan serius, kasus AJB Bumiputera dan Jiwasraya bakal menjadi kasus gagal bayar asuransi terbesar yang pernah terjadi di negara ini.

Jika pada akhirnya kedua perusahaan asuransi bakal bernasib sama dengan Bakrie Life, hal ini bisa menjadi pintu masuk resesi kepada ekonomi Indonesia. Sebagaimana saran dari Bank Dunia bahwa Indonesia harus menjaga kredibilitas sitem keuangannya dengan cara mengatasi kelemahan sektor asuransi.

Untuk memperbaikinya, Bank Dunia menyarankan agar ada analisis mendetail terhadap penilaian risiko dalam asuransi. Berdasarkan penilaian, perbaikan maupun resolusi harus dilaksanakan sesuai urutan aturan yang berlaku.

Pemegang polis AJB Bumiputera dan Jiwasraya tentunya menaruh harapan besar agar nasib mereka tidak berakhir seperti nasabah Bakrie Life.

*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement