REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom INDEF Dradjad Wibowo menyesalkan pelayanan transit di Kuala Namo (KNO). Menurutnya, ada masalah yang cukup memalukan dalam pelayanan transit.
Dradjad menceritakan pada Senin (18/11), ia transit di KNO dalam penerbangan Garuda dari Amsterdam ke Jakarta. Dari GA 89 yang mendarat jam 6.10 pagi, ke GA 181 yang naik pesawat jam 07.00 WIB.
Dalam transit penerbangan internasional ke domestik ini, kata dia, proses imigrasi dilakukan di KNO dan berjalan normal. Selanjutnya penumpang diarahkan menuju pintu 9 di keberangkatan domestik.
"Di sini muncul dua masalah memalukan. Pertama terkait bagasi. Di pintu 9 saya melihat seorang penumpang asing berargumentasi dengan petugas. Karena bahasa Inggris petugas pintu 9 pas-pasan, saya membantu komunikasinya," kata Dradjad kepada republika.co.id.
Ternyata, lanjut Dradjad, penumpang tersebut diminta keluar lagi menuju bea cukai untuk ditanya tentang bagasinya. Tentu saja penumpang warga negara asing tersebut keberatan. "Saya membantu menerjemahkan jika petugas bea cukai ingin memastikan isi bagasi dia, dan petugas Garuda akan mengantarnya," ungkap Dradjad.
Saat menuju pesawat, di pintu garbarata, kembali ada penumpang asing yang dihentikan petugas. Penumpang itu sudah tua dan pergi bersama istrinya. Rupanya mereka berdua juga harus keluar ke beacukai, dari garbarata lagi.
Kejadian ini menimpa beberapa penumpang transit. Bahkan ada seorang penumpang WNI yang marah, karena dia tidak diberi tahu sebelumnya tentang proses ini. "Sungguh sebuah mekanisme yang memalukan, yang belum pernah saya jumpai di berbagai bandara dunia," ungkap Dradjad.
Masalah kedua, menurut Dradjad, terkait kecepatan transit. Dikatakannya, adalah wajar jika penumpang transit harus melalui pemeriksaan X-Ray. Namun dengan waktu transit yang singkat, seharusnya mereka diberi jalur sendiri. Tidak bersama penumpang domestik yang baru masuk. "Itu praktek di berbagai bandara seperti Istanbul, Dubai dan sebagainya," jelas Dradjad.
Karena hal ini, menurut Dradjad, seorang penumpang asing sempat sedikit berteriak “a stupid system!”. Karena malu, Dradjad mengaku berteriak berinisiatif mengarahkan penumpang transit, dan meminta pengertian penumpang lain untuk memberi jalan.
Dradjad kemudian bertanya kepada petugas, ternyata masalahnya di koordinasi. "Saya tidak tulis rinci, tapi yang jelas petugas Angkasa Pura dan Garuda saling menyalahkan. Saya tidak bertemu petugas Bea Cukai jadi tidak bertanya ke mereka. Karena hanya membawa bagasi kabin, saya tidak diperiksa Bea Cukai. Bolong lagi," paparnya.
Dengan kondisi ini, Dradjad mempertanyakan bagaimana mau mempromosikan Indonesia jika perlakuan transit sejelek itu?. Padahal yang dilayani hanya belasan atau mungkin 20an penumpang. Bagaimana jika ada lebih dari 2000 penumpang transit per hari, seperti di Changi tahun 2018? Apa mau ditanya bagasinya satu per satu?.