Senin 18 Nov 2019 07:35 WIB

LPSK: Negara Jangan Cari Untung dari Kasus First Travel

Korban bisa meminta hasil lelang aset First Travel.

Perwakilan jamaah korban First Travel Zuherial dan Slamet Subekti mengirimkan surat kepada Presiden RI Joko Widodo, Rabu (18/9). I
Foto: dok. Istimewa
Perwakilan jamaah korban First Travel Zuherial dan Slamet Subekti mengirimkan surat kepada Presiden RI Joko Widodo, Rabu (18/9). I

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai perampasan aset First Travel (FT) oleh negara tak tepat. Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi mengatakan, negara bukan pihak yang dirugikan dalam kasus tindak pidana pencucian uang dan penggelapan tersebut.

Menurut dia, seharusnya negara lebih mementingkan kerugian para calon jamaah umrah yang menjadi korban dari biro perjalanan ibadah tersebut. "Negara tak boleh mengambil keuntungan dari kasus First Travel ini,” kata Edwin kepada Republika, Ahad (17/11).

Baca Juga

Menurut dia, korban First Travel bukan hanya mengalami kerugian materiel melainkan juga imateriel dari kasus tersebut. “Korban juga mengalami penderitaan psikis akibat terpaan perundungan sosial di lingkungan karena gagal umrah atau haji,” kata Edwin.

LPSK memberikan sejumlah solusi atau jalan tengah agar keadilan bagi para korban First Travel terpenuhi. LPSK, kata Edwin, menyarankan agar seluruh aset First Travel yang sudah dirampas untuk negara dikembalikan ke para nasabah yang menjadi korban.

Caranya, kata dia, para nasabah yang menjadi korban tersebut melayangkan permintaan kepada Kejaksaan Agung (Kejakgung) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Tujuannya agar seluruh aset First Travel yang disita tersebut dilelang dan hasilnya dikembalikan kepada para korban.

Kedua, opsi konstitusional dengan pengajuan permohonan pengembalian pembayaran atau restitusi kepada pelaku melalui pengadilan. Cara ini, menurut Edwin, memang bakal memakan waktu lama kKarena memerlukan identifikasi dan verifikasi para korban yang berhak untuk mendapatkan ganti kerugian. Namun, kata Edwin, sebagai lembaga perlindungan saksi, LPSK bersedia menjadi fasilitator dalam usaha mendata para korban yang berhak mendapatkan ganti kerugian karena kasus First Travel.

“LPSK dapat memfasilitasi ini bilamana para korban mengajukan permohonan,” kata Edwin. Namun, ia pun mengingatkan bahwa pengajuan restitusi ini menyimpan risiko yang tinggi. Pasalnya, kata dia, andaikan restitusi dikabulkan pengadilan, nominal aset tak bisa dipastikan akan setara dengan angka yang dibutuhkan untuk memenuhi ganti kerugian para korban.

“Bila aset itu dibagikan rata kepada korban, tentu nilainya akan menjadi kecil. Belum tentu para korban akan ikhlas menerima,” kata Edwin menambahkan. Opsi ketiga, LPSK menyarankan kepada negara agar mengembalikan aset First Travel itu ke tujuan semula, yakni peribadahan.

Menurut dia, para korban First Travel menanamkan uangnya ke biro perjalanan umrah dan haji itu untuk tujuan ibadah ke Tanah Suci. Namun, kasus pencucian uang dan penggelapan yang dilakukan pemiliknya membuat tujuan ibadah tersebut menjadi tak terpenuhi.

Perampasan aset oleh negara membuat ganti kerugian kepada para korban menjadi sulit. Namun, LPSK menilai para korban dapat meminta kepada negara lewat pengadilan agar aset yang disita tersebut digunakan untuk tujuan peribadahan lainnya.

photo
Jemaah yang akan mengikuti sidang gugatan perdata aset First Travel meninggalkan gedung pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, Rabu (20/3/19).

Menurut Edwin, hal tersebut seperti membangun rumah-rumah peribadahan, semisal masjid atau mushala, ataupun untuk pembangunan sarana pendidikan Islam. “Masjid atau mushala yang dibangun dengan menggunakan aset itu sepenuhnya atas nama korban yang akan menjadi amal jariyah. Selain itu, masjid dan mushala yang sudah terbangun itu menjadi monumen bagi masyarakat untuk mengingatkan masyarakat agar tak ada lagi korban yang sama di masa-masa yang akan datang,” ujar Edwin.

Namun, kata dia, apa pun pilihannya, negara harus tetap mendahulukan kepentingan para korban dalam mengeksekusi aset-aset yang disita dari First Travel.

Kepala Kejari Depok Yudi Triadi menjelaskan, dalam tuntutan pada persidangan di PN Depok, jaksa penuntut umum (JPU) sedianya meminta agar barang bukti dikembalikan ke korban melalui Paguyuban Pengurus Pengelola Aset Korban FT. Akan tetapi, putusan PN Depok berbeda dengan tuntutan JPU

JPU kemudian melayangkan banding pada 15 Agustus 2018. Namun, PN Bandung menguatkan putusan PN Depok. Lalu, JPU melakukan upaya hukum lagi dengan kasasi ke MA. Putusannya, pada 31 Januari 2019 MA menguatkan putusan PN Depok bahwa barang bukti perkara First Travel dirampas oleh negara. "Jadi, semua perkara pidana FT tersebut sudah berkekuatan hukum tetap atau inkrah, sedangkan masalah perdata gugatan terhadap aset FT masih pending," ujar Yudi. n ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement