Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968, istilah “Memuhammadiyahkan Muhammadiyah Kembali” sempat menjadi istilah populer di Muhammadiyah. Istilah ini dapat dikatakan sebagai kelanjutan pembahasan prasaran dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1968 tentang Tajdid. Tajdid dalam bidang Ideologi dan Khittah. Tajdid dalam bidang gerakan dan Usaha, serta tajid dalam bidang Organisasi dan Kader.
Pada Muktamar ke-37 yang bertema “Meningkatkan da’wah dan uchuwah Islamiyah, memantapkan Perjuangan dan pembangunan menuju tegaknya keadilan dan kebenaran yang diridhai Allah Swt”, penegasan kembalinya Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid ini menjadi salah satu putusan Muktamar. Keputusan ini diiringi dengan putusan tentang program kaderisasi sebagai program prioritas, yang diwujudkan dengan pembentukan Badan Pendidikan Kader.
Pada periode 1968-1971 ini dirumuskan pula matan, keyakinan, dan cita-cita hidup Muhammadiyah serta pedoman penjelasannya, Khittah Perjuangan Muhammadiyah, garis pelaksanaan Muhammadiyah serta penyempurnaan AD dan ART Muhammadiyah.
Semua rumusan itu pada dasarnya untuk memperkuat jati diri Muhammadiyah di tengah pergolakan perubahan perjuangan politik dan ideologi di Indonesia. Semua rumusan ideologis ini diprogramkan serta dipimpinkan dalam berbagai bentuk pembinaan sehingga menjadi sikap hidup warga Muhammadiyah.
Buletin tuntunan organisasi nomor 01 Bulan Agustus 1972 memberikan catatan khusus pada periode 1968-1971 ini. Masalah perjuangan politik praktis dirasakan sebagai faktor penghambat pelaksanaan gerakan Tajdid Muhammadiyah. Terutama dalam mewujudkan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah yang berjuang dalam membina masyarakat secara langsung.
Linear dengan bulletin tuntunan organisasi, editorial Bulletin Suara Muhammadiyah edisi nomor 31 tahun ketiga (31 Maret 1970) memberikan latar yang cukup jelas mengapa “Memuhammadiyahkan Muhammadiyah Kembali” menjadi isu sentral pasca Muktamar ke-37.
Dalam editorial tersebut ditulis bahwa pada masa-masa itu, di berbagai daerah, Muhammadiyah sedang mengalami pertumbuhan yang lumayan pesat. Kebanyakan pertumbuhan bersifat dari bawah dan secara spontan serta alami. Mereka bergabung ke Muhammadiyah dengan semangat keikhlasan yang muncul untuk membantu melebarkan sayap gerak Muhammadiyah.
Tanpa mengetahui apa itu Muhammadiyah secara benar, modal keikhlasan ini tentu belum bisa dianggap cukup. Apalagi, saat itu Muhammadiyah telah dianggap sebagai organisasi Islam yang paling teratur dengan baik di tanah air.
Oleh karena itu, gerakan Memuhammadiyahkan Muhammadiyah Kembali ini dapat dipahami sebagai usaha penertiban internal. Agar semua warga Muhammadiyah dapat bersikap sebagaimana seharusnya warga Muhammadiyah. Bersikap sesuai dengan semua ideologi dan kepribadian Muhammadiyah. Bukan sesuai ideologi dan kepribadian gerakan yang lain.
Dikaitkan dengan susana politik saat itu, gerakan Memuhammadiyahkan Muhammadiyah Kembali pada masa itu, dapat pula dipahami sebagai upaya untuk menutup peluang bagi penumpang gelap untuk menunggangi (dan mengacaukan) laju gerbong Muhammadiyah dari rel yang semestinya.
Dalam era kekinian, saat Muhammadiyah semakin besar dengan nilai tawar yang kian kuat ditambah amal usaha yang juga semakin mapan, sudah barang tentu akan menjadi daya pikat tersendiri bagi sebagian kalangan untuk bergabung Muhammadiyah. Maka, gerakan Memuhammadiyahkan Muhammadiyah Kembali ini menjadi semakin mendesak untuk dimassifkan. Jangan sampai Muhammadiyah yang besar ini malah jadi sarana kelompok lain dalam memainkan agendanya sendiri. (isma)
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 18 Tahun 2019