Kamis 14 Nov 2019 06:08 WIB

Ideologi Muhammadiyah di Gerbang Perubahan

Muhammadiyah harus mempersiapkan diri untuk melakukan strategi baru

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Ideologi di Gerbang Perubahan
Ideologi di Gerbang Perubahan

Aina al-mafar? Al-bahru waraakum wa al-aduwwu amamakum. Kemana kita akan lari menghindar dari persoalan? Hamparan samudera membentang di belakang, sedangkan musuh dengan berbagai keahliannya berbaris di hadapan kita.

Tariq bin Ziyad menggelorakan kalimat itu kepada pasukannya setelah membakar kapal yang mengangkut mereka. Pilihannya tinggal memasuki daratan Spanyol, dengan meninggalkan Selat Gibraltar yang berada di ujung utara Afrika dan ujung selatan Eropa. Dimulailah babak baru, awal mula “globalisasi” Islam abad pertengahan.

Di era revolusi industri 4.0 dengan segala problematikanya, Muhammadiyah tidak punya pilihan untuk menghindar. Misalnya, era internet dan media sosial melahirkan manusia yang tidak lagi menganggap penting otoritas dan sumber primer organisasi.

Amin Abdullah dalam Fresh Ijtihad: Manhaj Pemikiran Muhammadiyah di Era Disrupsi (2019) menyatakan bahwa Muhammadiyah dengan pengalamannya yang kaya dalam berbagai kurun waktu harus mempersiapkan diri untuk melakukan strategi baru (al-akhzu bi al-jadid al-ashlah).

Dengan persebaran anggota yang semakin meluas, Muhammadiyah menghadapi tantangan tersendiri dalam mengkonsolidasi organisasi. Latar belakang anggota Muhammadiyah semakin beragam, baik latar belakang budaya, suku, hingga profesi.

Berdampak pada beragamnya tujuan, motivasi, dan harapan ketika bergabung dengan Muhammadiyah. Semua perlu diberikan ruang, asalkan masih dalam bingkai ideologi Persyarikatan.

Ahmad Syafii Maarif dalam Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan Islam dan Politik (2000) menyarankan dua terobosan yang perlu diambil. Pertama, menyamakan bahasa dalam menilai dan mengevaluasi kondisi gerakan Muhammadiyah dan tantangan yang dihadapi.

Kedua, bergerak atas kepentingan Islam dalam rangka mencapai tujuan yang lebih strategis dan jangka panjang. Muhammadiyah memiliki tujuan besar, maka harus menampilkan diri sebagai universitas Islam terbuka yang bisa menjadi teladan dalam menjawab tantangan zaman.

Pemilihan wadah perjuangan dan aktivitas keagamaan dalam bentuk organisasi sosial keagamaan (bukan organisasi sosial politik), kata Amin Abdullah, merupakan pilihan genius dan orisinal. Pilihan itu tidak memperolah inspirasi dari konsep teologis atau kalam klasik yang telah baku dan mapan dalam literatur khazanah Islam klasik.

Muhammadiyah tidak terjebak pada persoalan konsep dan gagasan belaka, namun masuk pada pelembagaan peradaban, yang berbeda dengan pembaharuan pemikiran Islam ala Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Ibnu Wahab.

Sejak awal, Muhammadiyah tidak tergoda melibatkan diri dalam dunia politik. Padahal pada masa penjajahan, momentumnya sangat tepat untuk mengubah jati diri menjadi organisasi berhaluan politik praktis. KH Agus Salim yang sempat menjadi anggota Muhammadiyah pernah mengajukan usul menjadikan Muhammadiyah sebagai institusi politik dan ditolak tegas KH Ahmad Dahlan.

Ketua MDMC Budi Setiawan melihat bahwa persoalan politik menjadi salah satu faktor yang menggoyahkan internal Muhammadiyah.

Situasi ini harus dicarikan solusi dan dijembatani. Apabila ada kekecewaan pada pimpinan, perlu dikomunikasikan, bukan menjatuhkan pimpinan di ruang publik. Anak muda perlu mengedepankan ketinggian akhlak dan penghormatan pada yang tua, sementara orang tua juga perlu mendengar suara anak muda.

“Gerakan perubahan pasti dari anak muda. Tapi kemudian butuh orang tua yang ngayomi, meluruskan. Anak muda dinamikanya tinggi, karena mereka butuh ruang,” ujarnya.

Budi Setiawan mencontohkan dinamika awal Muhammadiyah. Dialektika dilandasi oleh kepentingan Muhammadiyah, bukan diri sendiri. “Ketika Kiai Hisyam memimpin Muhammadiyah itu perkembangan Muhammadiyah dari segi organisasi luar biasa, administrasi organisasi luar biasa. Tetapi mendapatkan kritik dari anak muda Muhammadiyah seperti Kiai Hadjid, Kiai Basyir, Kiai Baidowi. Kiai Hadjid berani ngomong dengan Kiai Hisyam. Kiai Hisyam sebagai orang tua akomodatif dengan anak-anak muda.”

Sistem nilai etika yang menyangga Muhammadiyah periode awal, menurut Guru Besar UIN Sunan Ampel Achmad Jainuri, antara lain adalah semangat keterbukaan, toleransi, pluralitas, kerja keras, kalkulasi rasional, dan semangat pembebasan. Muhammadiyah menjadikan Islam sebagai landasan dan misi gerakan dalam semua bidang kehidupan dan terutama pembaruan sosial. Terbuka dengan pengalaman baru, bahwa kebenaran bisa ditemukan dalam kebudayaan manapun, dengan menempatkan akal pada posisi penting.

Selain itu, prinsip dasar iman yang diletakkan dalam konteks sosial Muhammadiyah selalu berimplikasi luas pada praktik kehidupan sehari-hari. Implementasi ajaran Islam merupakan tujuan utama dari makna Islam yang sesungguhnya. Hal ini menjadikan Muhammadiyah setia bekerja nyata bagi kebaikan umat manusia. Laku luhur ini merupakan manifestasi dari Kepribadian Muhammadiyah, salah satu produk ideologi.

Menurut Jainuri, ideologi Muhammadiyah sangat luas, tidak semua warga dan pimpinan membaca sumber-sumber normatif ini. “Tetapi warga Muhammadiyah paham bahwa Muhammadiyah memiliki wawasan humanistis yang toleran, pluralis, dan terbuka; memahami bahwa semua ibadah dalam Islam memiliki makna sosial yang sangat luas; dan filosofi praksis yang menekankan pada amal dan perbuatan nyata. Warga Muhammadiyah dan sebagian besar mereka yang simpati kepada Muhammadiyah memahami paham Muhammadiyah melalui program-program yang dilakukan oleh Muhammadiyah dalam amal usaha Muhammadiyah.”

Bagi para pimpinan, penting memahami pemikiran ideologi melalui sumber resmi Persyarikatan. “Selain itu, Pimpinan Persyarikatan juga memiliki tugas penting untuk merumuskan norma baru berdasarkan pengalaman kasus yang terjadi di lapangan. Rumusan norma aturan sangat penting untuk dijadikan dasar implementasi program di lapangan, demikian juga sebaliknya, pengalaman di lapangan menjadi elemen penting untuk merumuskan norma baru. Bagi pimpinan, dialektika ini penting dipahami sebagai elit yang bertanggungjawab membawa lajunya organisasi,” ulas Jainuri. (ribas)

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 18 Tahun 2019

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement