REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah membentuk Peraturan Menteri LHK tentang peta jalan bagi produsen selama 10 tahun terkait pengurangan sampah plastik. Saat ini, peraturan tersebut masih dalam proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
"Sekarang dalam proses harmonisasi di Kumham dan untuk diterbitkan dalam lembaran negara," jelas Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, kepada Republika.co.id, Rabu (13/11).
Ia menyebutkan, KLHK akan menerbitkan Permen LHK tentang peta jalan bagi produsen selama 10 tahun terkait pengurangan sampah plastik. Menurut Rosa, salah satu isi Permen LHK tersebut berbunyi, produsen harus menyusun peta jalan dan mendesain ulang serta menarik kembali kemasan plastik yang dihasilkan.
"Meredesain artinya adalah kemasan yang harus digunakan harus diubah menjadi kemasan yang dapat didaur ulang, atau ramah lingkungan dan tidak menghasilkan sampah plastik," kata Rosa.
Rosa juga menjelaskan, Permen LHK tersebut dibentuk bukan untuk mengatur perilaku prodsen, melainkan sebagai pedoman bagi mereka untuk menyusun peta jalan pengurangan sampah plastik. Karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan sanksi tidak diatur dalam peraturan tersebut.
"Sanksi hanya bisa di atur di undang-undang atau peraturan pemerintah. Sehingga tidak ada sanksi," jelas dia.
Sebelumnya, pemerintah disebut memiliki andil besar dalam upaya mengurai krisis plastik. Peraturan-peraturan yang berkenaan dengan upaya tersebut diharapkan benar-benar diimplementasikan di kehidupan sehari-hari.
"Di samping perusahaan, pemerintah turut mempunyai andil besar dalam mengurai krisis plastik. Peraturan Menteri sebagai turunan dari Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah harus segera direalisasikan," jelas Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran Lingkungan ICEL, Fajri Fadhillah, di Jakarta, Selasa (12/11).
Tentunya, kata Fajri, peraturan harus berisi petunjuk bagaimana perusahaan melaksanakan tanggung jawab atas sampah kemasan produknya dan sanksi apabila melakukan pelanggaran. Menurut dia, sudah tujuh tahun berlalu sejak PP No. 81 Tahun 2012 memerintahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membuat peraturan tentang pengurangan sampah oleh produsen.
"Semoga peraturan tersebut dapat segera ditetapkan, dan memuat aturan yang ketat bagi produsen untuk mengurangi secara signifikan penggunaan plastik sekali pakai dalam proses produksinya,” kata Fajri.
Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi, menyebutkan, volume sampah plastik akan terus meningkat beriringan dengan semakin bertumbuhnya industri. Itu karena tak sedikit industri yang mengandalkan plastik sekali pakai sebagai kemasan hingga saat ini.
"Ketika industri terus bertumbuh, volume sampah plastik pun akan meningkat, karena industri masih mengandalkan plastik sekali pakai sebagai kemasan,” ujar Atha.
Menurutnya, secara global plastik kemasan memegang porsi terbesar dalam industri plastik. Selain itu, volume sampah plastik yang semakin besar juga menjadi momok bagi lingkungan dan masyarakat Indonesia. Terlebih jika melihat daya tampung Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang terbatas dan tidak semua sampah plastik bisa didaur ulang.
"Oleh sebab itu pengurangan produksi plastik sekali pakai dan penerapan konsep ekonomi sirkular merupakan solusi utama dari krisis masalah plastik,” kata dia.
Di sisi lain, aktivis lingkungan Greenpeace itu mengatakan, pihaknya terus mendorong para pemangku kepentingan untuk bisa mengaplikasikan sistem penggunaan kembali dan isi ulang alias reuse dan refill. Itu berbeda dengan solusi yang ditawarkan perusahaan FMCG, perusahaan produk kebutuhan sehari-hari, yang Atha nilai tergolong salah.