REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan dua kasus yang menjadi fokus Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dua kasus tersebut pernah dilaporkan sejumlah pihak untuk disidik tuntas dan dilakukan penuntutan.
Komisioner KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan, dua kasus tersebut yakni terkait dugaan korupsi dalam pembelian Helikopter Agusta Westland (AW)-101 di TNI-AU, dan Petral. “Sudah kami tangani meskipun butuh waktu, karena kompleksitas perkara (kasus), dan perolehan buktinya,” kata Laode dalam keterangan tertulis kepada wartawan di Jakarta, Selasa (12/11).
Laode tak setuju dengan anggapan bahwa pengungkapan dua kasus tersebut mandek, apalagi tak dilanjutkan penanganannya. KPK bekerja sama dengan POM TNI telah menetapkan enam orang tersangka.
Para tersangka, yakni seorang sipil bernama Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh, dan lima lainnya dari kalangan TNI. “KPK menangani satu pihak swasta. Sedangkan POM TNI menangani tersangka dengan latar belakang militer,” kata Laode.
Laode mengatakan KPK masih menunggu hasil audit kerugian keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Selain itu, ia menambahkan, KPK memang mengalami kesulitan melakukan pemeriksaan sejumlah saksi yang berlatar belakang tentara lantaran mereka menolak diperiksa penyidik sipil.
“Jadi kasus ini, sangat tergantung pada keterbukaan dan kesungguhan TNI. Pihak swastanya tengah ditangani KPK,” kata Laode.
Khusus penuntasan kasus tersebut, Laode mengatakan, KPK mengharapkan dukungan penuh Presiden Jokowi dan menko polhukam, TNI, dan BPK. “Kasusnya sebenarnya tidak susah, kalau ada kemauan dari TNI, dan BPK,” ujar Laode.
Terkair penanganan kasus Petral, Laode mengaku adanya sejumlah kendala yang menuntut peran negara memberikan bantuan untuk mempermudah proses penyidikan. “Perlu disampaikan bahwa kasus ini (Petral) melibatkan beberapa negara, Indonesia, Thailand, Uni Emirate Arab, Singapura, dan Kepulauan Britania,” kata Laode.
Laode mengatakan kesulitan utama dalam penanganan Petral karena kasus mafia migas juga melibatkan perusahaan-perusahaan cangkang (shell company atau perusahaan yang punya badan hukum, tetapi tidak berwujud). Alhasil, ia mengatakan, KPK kesulitan menemukan sejumlah bukti.
“Perlu dipahami, penanganan perkara korupsi tentu harus didasarkan pada alat bukti, dan kemampuan memperoleh alat bukti sangat dipengaruhi oleh kewenangan yang diberikan UU kepada KPK,” ujar Laode.
Kasus Helikopter AW-101 terjadi pada 2016. Helikopter tersebut sebetulnya masuk dalam rencana anggaran belanja untuk kebutuhan transportasi kepresidenan dengan angka belanja mencapai Rp 738 miliar.
Meski sudah dibeli, Presiden Jokowi pernah menolak pembelian helikopter buatan Inggris dan Italia itu. Penolakan presiden saat itu memunculkan polemik karena diduga adanya penggelembungan dana belanja dalam pengadaan kendaraan kepresidenan itu.
Meskipun presiden menolak, helikopter kepresidenan tersebut tetap datang ke Indonesia. Akan tetapi, perintah Panglima TNI saat itu menegaskan agar dugaan pelanggaran hukum dalam pembelian itu diselidiki, yang ditindaklanjuti oleh KPK.
Sementara kasus dugaan korupsi Petral, Presiden Jokowi membubarkan Petral pada 2015 karena dituding sebagai markas para mafia dan kartel bahan bakar umum. Presiden Jokowi pun memerintahkan agar dilakukan reformasi tata kelola migas.
Pembubaran Petral tersebut juga menuntut KPK untuk melakukan sejumlah dugaan praktif korupsi di dalamnya. KPK memulai penanganan perkara korupsi pembelian minyak mentah yang pernah dilakukan Pertamina Energy Service (PES) yang melibatkan petinggi Petral 2009-2015, yakni mantan direktur marketing Petral Bambang Irianto.
Laode menjelaskan dua kasus tersebut menyusul pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD pada Senin (11/11) malam. Mahfud menjelaskkan presiden pernah menyampaikan dua kasus besar ke KPK, tetapi tidak terungkap.