REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perempuan termasuk salah satu golongan yang rentan terhadap penyebaran paham terorisme. Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia Ruby Kholifah memaparkan beberapa faktor yang membuat perempuan turut dilibatkan dalam aksi teror yang dilancarkan oleh kelompok ISIS.
Menurutnya, faktor pertama adalah kegagalan ISIS menggunakan kekuatan laki-laki dalam melancarkan tindakan ekstremisme. Maka, mobilisasi perempuan itu mereka lakukan.
"Kalau mereka nggak kalah, nggak mungkin membuka ruang jihad itu untuk perempuan. Karena konstruksi patriarki mereka sangat kuat bahwa itu (aksi teror) ruang laki-laki," kata dia dalam diskusi di Jakarta, Senin (11/10).
Apalagi, pada era 1980-an, kelompok-kelompok ekstremis di Indonesia juga melarang perempuan untuk melancarkan aksi teror. Namun, kondisi terpuruk yang menimpa ISIS belakangan ini membuat mereka melakukan pergeseran dalam menebar aksi ekstremis.
Faktor kedua, adalah kekuatan perempuan yang memang sudah banyak. Dan perempuan di kelompok ini solid dan militan. Militansi mereka mendapatkan momentum dengan kekalahan ISIS. "Mereka tidak menyiapkan diri, tapi kondisinya sudah siap," tuturnya.
Sebab, ungkap Ruby, bertahun-tahun kalangan perempuan di kelompok ekstremis melaksanakan doktrinasi di dalam kelembagaan mereka, termasuk di lingkup keluarga. Kata dia, doktrinasi ekstremisme di keluarga sebetulnya bukan dari ayah ke anak, melainkan dari ibu ke anak. "Jadi peran perempuan memang banyak," tuturnya.
Faktor ketiga terkait perkembangan teknologi digital di mana media sosial (medsos) dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis. Menurutnya, keberadaan medsos mengubah wajah perekrutan anggota untuk menyebarkan terorisme di Indonesia.
"Peran medsos ini juga berpengaruh dan mengubah wajah terorisme. Sekarang tidak ada lagi pimpinan utama. Dulu perekrutan itu dilakukan selama dua tahun, baru bisa dikatakan sah untuk melakukan aksi bom bunuh diri," tutur dia.
Saat ini, ucap Ruby, proses radikalisasi terjadi di medsos. Konten-konten yang berbau ekstremis disebar di medsos dan bisa dengan mudah diunduh. Selain itu, untuk memperkuat perspektif tentang ideologi yang dibawa kelompok ekstremis, bisa didengar lewat ceramah tokoh-tokohnya di medsos.
Karena itu, Ruby mengakui, sisi buruk teknologi adalah memasifkan penyebaran ideologi kelompok ekstremis. Semula perekrutan dilakukan selama 2 tahun, sekarang menjadi 2 jam atau 2 hari. Ketika perempuan mendapat akses, sulit untuk menemukan siapa yang bisa mengontrolnya, termasuk orang tua ataupun suami.
Faktor keempat yang menyebabkan perempuan terlibat, ucap Ruby, karena tidak adanya penggunaan perspektif gender dalam menangkal aksi terorisme. Menurut dia, selama ini pencegahan hingga pemberantasan terorisme tidak menggunakan perspektif gender sehingga tidak mampu memitigasi penyebaran ideologi ekstremisme.
"Perspektif gender kita itu gagal dan enggak bisa membaca mengapa perempuan melakukan itu. Kita tidak bisa melihat trennya seperti apa dan bagaimana ke depannya, karena perspektif gender ini tidak dipakai dalam membaca fenomena ekstremis dengan cukup maksimal," jelasnya.
Jika perspektif gender ini tidak diarusutamakan, menurut Ruby, maka situasinya akan seperti ini terus. Dia pun mendorong agar pengarusutamaan gender ini menjadi strategi nasional. Bila tidak demikian, pemerintah akan terus melihat perempuan dan anak dilibatkan dalam aksi terorisme.
"Pemerintah harus menempatkan perspektif gender ini untuk meredam aksi-aksi teror yang melibatkan perempuan. Mengapa, karena perempuan punya kekuatan jangkauan jaringan sosial yang sangat baik dan peran sebagai aktor perdamaian itu akan maksimal dia lakukan," ucapnya.