Oleh: Muhammad Ridha
Pada 1970-an, Buya Hamka berkunjung ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Seorang pimpinan Muhammadiyah Tonando bercerita pada Hamka tentang kunjungan Abdul Kahar Muzakkir ke pemakaman Kiai Mojo dan pengikut Pangeran Diponegoro. Di depan sebuah makam, Kahar Muzakkir tertegun lama dan menitikkan air mata.
“Di sana ada kuburan dari datuknya, kakek dari ayahnya, yang turut berjuang menegakkan cita Islam di zaman Perang Diponegoro itu,” kata Hamka. “Darah itulah rupanya yang masih mengalir pada Ustad Kahar,” tulis Hamka mengenang karibnya dalam artikel “Kenang-kenangan Kepada Profesor Abdul Kahar Muzakkir” di Suara Muhammadiyah nomor 24 tahun ke-53, Desember II/1973.
Kahar Muzakkir lahir Yogyakarta, 16 April 1907 (sumber lain: 1908). Namanya sering tertukar dengan Kahar Muzakkar. Dalam Indonesia & Malay Students In Cairo in 1020’s, William R. Roff menyamakan Kahar Muzakkir dan Kahar Muzakkar. Di kemudian hari, Kahar Muzakkir menambahkan kata “Abdul” di depan namanya.
Menurut Rifqi Abdul Kahar, putra Kahar yang wafat 27 November 2014, pertimbangan ayahnya menambah nama karena Abdul Kahar berarti hamba tuhan, sedangkan Kahar merupakan nama Tuhan dalam asmaul husna.
Sebagaimana kenangan Hamka, Kahar Muzakkir memang keturunan darah pejuang. Kakeknya, Kiai Hasan Busyairi adalah pimpinan lokal tarekat Syatariyah. Kisaran 1825-1830, Kiai Hasan Busyairi bersama Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Hasan Busyairi yang menjabat komandan gerilya daerah bersama Kiai Mojo, tertangkap. Belanda mengasingkan mereka ke Tondano sampai ajal menjemput.
Ayah Abdul Kahar, Kiai Muzakkir adalah seorang guru agama Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta. KH Muzakkir segenerasi dengan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Keduanya terlibat menata organisasi yang kini sudah berusia 107 tahun. Kiai Dahlan sempat menjadi paman dari Abdul Kahar, pendiri Muhammadiyah itu menikahi adik perempuan istri Haji Muzakkir (bibi dari gadis ibu).
Perkawinan ini tidak berlangsung lama. Ibu Kahar adalah puteri dari Haji Mukmin. Salah satu saudara ibunya, Haji Masyhudi menjadi pendiri Muhammadiyah di Kotagede.
Pendidikan Kahar berawal di SD Muhammadiyah Selokraman Kotagede, sampai kelas dua. Pendidikan selanjutnya di Ponpes Jamsaren Solo sambil belajar di Madrasah Mambaul Ulum. Lalu ke Pesantren Tremas Jawa Timur.
Pada 1924, Kahar yang berusia 21 tahun, berangkat ke Mesir (sumber lain: berangkat haji ke Makkah, dengan maksud mukim dan belajar di sana. Keberangkatannya dibiayai paman dari pihak ibu, Haji Muchsin. Salah satu putra Haji Muchsin juga ikut bersama. Namun karena kecamuk perang antara Kerajaan Hijaz dan Kesultanan Nejd ketika itu, Kahar mengalihkan perjalanan ke Mesir).
Tahun 1925, ia berkirim surat ke keluarganya bahwa ia diterima di Universitas Al-Azhar. Pada 1927, Kahar pindah ke Universitas Darul Ulum Kairo. Ia lulus tahun 1936 dalam bidang Hukum Islam, Ilmu Pendidikan, Bahasa Arab dan Bahasa Ibrani, (Mitsuo Nakamura, 1996).
Selama dua belas tahun di Mesir, Kahar menjadi aktivis berbagai organisasi. Ia bersahabat dengan Sayid Qutub, pengarang Tafsir Fi Dzilâl Al-Quran. Kahar dekat dengan Partai Wafd dan sering menulis artikel untuk koran Mesir seperti Al-Ahram, Al-Balagh, dan Al-Hayat.
Kahar mendirikan perhimpunan kalangan Islam Asia Tenggara di Timur Tengah, Jam’iyyah al-Khairiah al-Talabijja al-Azhariah al-Jawiah. Organisasi ini menerbitkan jurnal atau majalah Seruan Azhar. Media ini berperan penting dalam penyebaran gagasan pembaruan Islam dan penggalangan persatuan Islam dari Mesir ke Asia Tenggara. Kahar juga ikut menginisiasi pendirian Jam’iyyah Syubban Muslimin (Persatuan Pemuda Muslim Sedunia).
Dekade 1930-an, Kahar sering berkunjung ke berbagai negara Timur Tengah menghadiri konferensi Islam tingkat dunia. Pada 1931, Kahar diminta Mufti Besar Palestina, Sayid Amin al-Husaini untuk menghadiri Muktamar Islam Internasional di Palestina mewakili Asia Tenggara. Kahar pun menyurati Partai Syarikat Islam Indonesia untuk mendapatkan persetujuan.
Kahar berangkat ke Palestina sebagai peserta termuda dan terpilih sebagai sekretaris muktamar mendampingi Mufti Palestina. Kesempatan baik itu dimanfaatkan Kahar untuk memperkenalkan Indonesia kepada dunia Islam. Kahar juga pernah menjadi redaktur koran Palestina, Al-Tsaurah.
Pada 1933, Kahar ikut andil dalam pembentukan Perhimpunan Indonesia Raya di Mesir, yang berjejaring dengan Perhimpunan Indonesia di Belanda. Ia terpilih sebagai ketua Perhimpunan Indonesia Raya pertama. Pergerakan ini aktif memperkenalkan Indonesia pada publik dunia, mengkampanyekan kemerdekaan Indonesia, melobi dan mencari dukungan internasional.
Bentuk perjuangan pergerakan yang dipimpin Kahar ini antara lain melalui siaran radio dan rapat umum. Kahar mendirikan kantor berita Indonesia Raya. Tuntutan Indonesia bahkan disiarkan media massa Timur Tengah. Demikian catat Trias Setiawati dalam Prof KH Abdul Kahar Muzakkir: Mutiara Nusantara dari Yogyakarta (2007).
Pada 1938, intelektual muda ini pulang ke Indonesia. Kahar diamanahi menjadi Direktur Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Sejak 1953, Kahar ikut dalam struktur Pengurus Besar Muhammadiyah sampai akhir hayatnya, 2 Desember 1973.
Tidak hanya di luar negeri, Kahar juga intens terlibat dalam perjuangan kemerdekaan di dalam negeri. Kahar bergabung di Partai Islam Indonesia bersama Prof Rasyidi, KH Mansoer, Prof Faried Ma’aroef, Mr Kasmat Bahuwinangun, dan Dr Soekiman Wirjosandjojo.
Setelah merdeka, Kahar menepi dari dunia politik. Menurut Nakamura, jika mau, Kahar bisa saja memperoleh jabatan tinggi. Pribadi santun, lembut, dan sederhana ini justru memilih mengabdikan diri bagi Sekolah Tinggi Islam (cikal UII). Juga menginisiasi IAIN Yogyakarta.
Abdul Kahar Muzakkir adalah intelektual santun yang berkiprah nyata bagi kemerdekaan Indonesia di dalam dan diplomasi luar negeri. Ulama Kotagede ini bukan pengejar jabatan. Setelah merdeka, dirinya justru menepi dari gegap gempita politik.
Pada 1945, ia menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Sembilan bentukan BPUPKI. Kahar Muzakkir dan Wahid Hasyim (NU) gencar mengusulkan Islam sebagai dasar negara Indonesia merdeka.
Meskipun bagian dari kaum Islamis, Kahar berpaham agama moderat, bahkan progresif. Majalah Himmah nomor 3 tahun XVIII Dzulqaidah 1404 H/Juli-Agustus 1984 M menceritakan, Kahar pernah melarang ucapan salam ketika mengajar di Madrasah Mu’allimin.
Kesaksian ini dituturkan muridnya, Ya’cub Mahmud, “Saya malah pernah disuruh keluar ketika masuk ke kelas sambil mengucapkan salam.” Alasan Kahar melarang salam karena mengganggu konsentrasi belajar mengajar, tidak berarti membenci salam.
Muhammad Ridha, Kader Muhammadiyah asal Bireuen, Aceh