Jumat 08 Nov 2019 05:30 WIB

Bawaslu Awasi Politisasi Birokrasi di Pilkada Jabar 2020

Ada tujuh kabupaten dan satu kota yang menggelar pilkada di 2020.

Rep: Arie Lukihardianti / Red: Agus Yulianto
Para Cagub Pilkada Jabar 2018 (Ilustrasi)
Foto: republika/mardiah
Para Cagub Pilkada Jabar 2018 (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Jawa Barat menyoroti adanya potensi politisasi dalam birokrasi menjelang Pilkada Jabar 2020. Ada delapan daerah di Jabar yang akan melangsungkan pemilu, yakni Kabupaten Bandung, Cianjur, Sukabumi, Karawang, Indramayu, Tasikmalaya, Pangandaran dan Kota Depok.

Menurut Ketua Bawaslu Jabar Abdullah Dahlan, potensi elit lokal menggunakan sumber daya daerah akan menguat dalam Pilkada tahun ini. Khusus untuk Pilkada Jabar 2020, ada tujuh kabupaten dan satu kota. 

"Ini menjadi concern bagi kita pengalaman pileg dan pilpres kemarin kita menyiapkan lebih matang lagi. Di pilkada nuansanya lebih kuat lagi, potensi elit lokal menggunakan sumber daya daerah sebagai modal politik," ujar Abdullah di acara Bawaslu Forum dalam rangka Evaluasi Pengawasan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2019 di Provinsi Jabar, Kamis (7/11).

Selain itu, menurut Abdullah, pihaknya juga akan memberi perhatian besar terhadap potensi adanya politisasi program pemerintah sebagai modal kampanye. Terutama, bagi calon kepala daerah yang akan kembali berkontestasi di Pilkada Jabar 2020.

"Bawaslu juga mengawasi aspek pejabat daerah yang maju kembali karena mereka punya akses untuk menggunakan resource daerah," katanya.

Menurutnya, jangan sampai birokrasi dipakai mesin pemenangan lalu program pemerintah atau dana APBD. "Jangan sampai jadi resource logistik pemenang. Sementara hal itu dilarang oleh undang-undang," katanya.

Poin lain yang disoroti, kata dia, adanya peluang mutasi dan rotasi pejabat di birokrasi yang bersifat politis untuk mendukung upaya pemenangan. Ia mengingatkan, dalam aturan menegaskan tak boleh ada rotasi mutasi jabatan enam bulan sebelum pemilu berlangsung.

"Lalu jangan sampai ada politiasi birokrasi, misalnya rotasi mutasi yang bersifat politis untuk mendukung pemenangan itu diaturan tidak boleh, enam bulan sebelum Pilkada tidak boleh ada rotasi mutasi," katanya.

Namun, kata dia, Bawaslu juga mengingatkan kepada partai politik untuk membuat kontestasi yang fair dalam aspek kandidasi. Ia mengimbau seluruh parpol mengikuti kaidah hukum pemilu juga. "Misal dipencalonan kerawanan yang muncul juga potensi transaksional dalam aspek kandidasi atau jual beli suara ini potensial muncul, istilah uang tiket uang perahu ada. Dan ini terjadi dan terbukti maka calon itu bisa digugurkan kepesertaannya sebagai calon kandidat Pilkada," papar Abdullah.

Oleh karena itu, kata Abdullah, Bawaslu Provinsi Jawa Barat segera membentuk tim pengawasan isu khusus sejenis satuan tugas dalam menghadapi Pilkada serentak di delapan kabupaten dan kota di Jawa Barat tersebut.

Satgas ini, kata dia, akan mengawasi potensi politik uang, pemanfaatan sumber daya daerah sebagai modal politik, dan pengawasan netralitas ASN, yang rentan terjadi pada setiap pemilu. Hal ini didasarkan pada pengalaman dan sejumlah kajian.

Yakni, kata dia, mulai dari dalam tahap pencalonan, pihaknya mengimbau seluruh partai politik dan peserta pilkada untuk mengikuti kaidah aturan hukum pemilu yang berlalu. Termasuk, dalam pencalonan yang muncul kerawanan potensi transaksional dalam aspek kandidasi atau jual beli suara. "Hal seperti inilah yang akan mulai dicermati satgas tersebut," katanya.

Saat ini, kata dia, yang menjadi polemik adalah Kemendagri yang kini membolehkan ASN yang maju dalam Pilkada tanpa perlu cuti. Dengan demikian, pengawasan terhadap pihak yang maju dari ASN ini harus ditingkatkan, jangan sampai menggunakan pengaruh kekuasaannya untuk pemenangan. 

"Itulah kenapa ada norma, soal pentingnya mereka mundur dari jabatan, melepaskan jabatan, jika ikut pemilu. Agar pengaruh kekuasaan itu tidak memainkan peran dalam proses kontestasi elektoralnya. Nah ini diharapkan akan lebih objektif kalau mereka melepaskan diri dari jabatan jabatan, baru mengikuti kontestasi pemilu," paparnya.

Pada pemilu terakhir, kata dia, Bawaslu banyak melakukan tindakan. Di antaranya 16 perkara yang sudah inkrah sampai putusan di pengadilan. Semua perkara tersebut, terkait kasus politik uang yang implikasinya membatalkan keterpilihan kandidat, seperti di Kabupaten Tasikmalaya, Cianjur, dan Indramayu.

Pada Pilpres dan Pileg 2019, kata dia, Bawaslu Jawa Barat menerima sejumlah 942 perkara. Total tersebut terklasifikasi menjadi pelanggaran administratif sekitar 530 pelanggaran, sisanya menyangkut pidana, kode etik, dan yang diteruskan ke instansi lain karena tidak masuk dalam zona regulasi Undang-Undang Pemilu, yakni seperti yang berkaitan dengan pelanggaran ASN.

Bawaslu Jawa Barat termasuk juga menyelesaikan 24 sengketa administrasi yang berkaitan dengan proses rekapitulasi proses pemilu dan peserta pemilu tidak puas terhadap mekanisme administrasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement