REPUBLIKA.CO.ID, SUKOHARJO -- Penyelesaian polemik Masjid Riyadhul Jannah di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, dalam proses negosiasi dengan pihak pemberi pinjaman. Masjid tersebut dijadikan sebagai agunan bank sehingga akan disita.
"Kemarin kan sidang, didatangi pihak bank, keluarga, takmir, dan saya selaku penerima kuasa penyelesaian masjid," kata penerima kuasa penyelesaian Masjid Riyadhul Jannah sekaligus koordinator penghimpunan dana Mujiman di Sukoharjo, Rabu (6/11).
Ia mengatakan saat ini prosesnya dalam tahap negosiasi dengan pihak bank, termasuk untuk memastikan berapa utang yang masih tersisa. "Nanti akan ada jawaban dari pihak bank. Selanjutnya setelah lunas akan ada proses pewakafan masjid," katanya.
Sambil menunggu keputusan, saat ini pihak masjid telah membentuk tim penghimpunan dana untuk melunasi utang tersebut. Namun, Mujiman enggan menyebut jumlah dana yang sudah masuk dengan alasan proses penghimpunan dana tersebut masih terus berjalan.
Sebelumnya, Masjid Riyadhul Jannahdi RT 03/RW 01, Dusun Bangsri Cilik, Desa Kriwen, Kecamatan Sukoharjo, terancam disita oleh BPR Central International. Penyitaan menyusul dijadikannya sertifikat tanah masjid tersebut sebagai agunan.
Awalnya tanah ini merupakan milik Yatimin Witnyo Diharjo, beliau ini pemilik perusahaan transportasi PO Wahyu Putro. Tanah ini dijadikan agunan bank saat masih berupa rumah," kata Ketua Umum Masjid Riyadhul Jannah Sri Mulyono (52) di Sukoharjo.
Ia mengatakan tanah tersebut pada akhirnya didirikan masjid karena pemilik rumah pindah ke daerah lain. Selanjutnya, pada 2011, masjid yang sudah berdiri diserahkan kepada masyarakat setempat untuk dikelola menjadi tempat ibadah para warga.
"Kalau keluarga ini pindah ke daerah kota sana, sekitar tahun 1980. Tetapi baru didirikan masjid di tahun 2011itu," katanya.
Ia mengetahui tanah tersebut menjadi agunan bank sekitar 2014. Saat itu, pihak bank sering mendatangi Masjid Riyadhul Jannah.
"Setelah saya tahu kemudian saya datang ke keluarga Pak Yatimin. Di situ saya hanya dikasih tahu untuk tidak ikut memikirkan permasalahan bank, saya hanya disuruh fokus mengurus masjid," katanya.
Ia tidak menyangka akhir-akhir ini permasalahan agunan tersebut membesar karena ternyata salah satu anak pemilik tanah yang menjadikannya sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman dari BPR hingga saat ini tidak mampu mengembalikan pinjaman tersebut.
"Setahu saya pinjamnya Rp400 juta. Dulu saat Pak Yatimin masih hidup tidak ada masalah seperti ini, tetapi setelah beliau meninggal permasalahannya baru muncul," katanya.
​​Sementara itu, ia mengatakan masjid seluas 300m2 yang berdiri di tanah dengan luas 1.160m2 ini sangat dibutuhkan oleh warga.
"Dulu sebelum ada masjid ini kan masyarakat yang mau beribadah ke masjid jalannya agak jauh, jadi jarang warga sini yang ikut shalat berjamaah di masjid. Setelah berdiri masjid ini saya minta mereka lebih rajin datang dan ternyata cukup banyak yang datang," katanya.
Ia ingat satu pesan keluarga Yatimin saat mewakafkan masjid tersebut kepada masyarakat, yaitu tidak ingin masjid digunakan oleh pihak yang tidak mengenal tradisi Yasin dan Tahlil.
Pascamaraknya pemberitaan tersebut, dikatakannya, sejumlah kalangan mulai berdatangan ke masjid karena ingin mengetahui kejadian yang sebenarnya.
"Ada yang dari luar kabupaten, banyak juga yang dari Jogja dan Jawa Timur. Intinya mereka ingin membantu untuk menyelamatkan masjid ini," katanya.
TAKE