Selasa 05 Nov 2019 15:01 WIB

IDI Apresiasi Perpres Dokter Spesialis ke Pelosok

Kewajiban dokter spesialis ke wilayah pelosok dinilai melanggar HAM.

Rep: Febryan/ Red: Muhammad Hafil
Dokter memeriksa pasien/ilustrasi
Foto: healthliving
Dokter memeriksa pasien/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengapresiasi peraturan presiden (Perpes) Nomor 31/2019 yang tak lagi mewajibkan dokter spesialis bertugas di wilayah pelosok dan diganti sifatnya jadi sukarela. Status wajib dinilai adalah bentuk paksaan dari negara, sedangkan negara tak berkontribusi langsung terhadap biaya pendidikan para dokter tersebut.

Sekretaris Jenderal Pengurus Besar IDI (PB IDI) dr. Moh. Adib khumaidi, SpOT, mengatakan, Perpes sebelumnya yang mewajibkan dokter spesialis bertugas di wilayah pelosok adalah bentuk paksaan. Dan, itu melanggar UU HAM serta konvensi internasional tentang penghapusan kerja paksa.

Baca Juga

Selain itu, Adib menilai, negara juga tak bisa memajibkan hal itu lantaran tak adanya kontribusi langsung negara dalam proses pendidikan para dokter spesialis, terutama soal pembiayaan. "Apakah negara hadir dalam proses pendidikan dokter spesialis selama ini ?" kata Adib ketika dihubungi Republika di Jakarta, Selasa (5/11).

Menurut dia, sebagian besar dokter spesialis yang ada sekarang merupakan lulusan mandiri atau mereka yang membiayai pendidikannya sendiri. Oleh karena itu, negara tak bisa memaksakan mereka harus bertugas di wilayah terpencil atau pulau terluar.

"Kecuali dokternya kiriman daerah yang dibiayai daerah. Kan ada kontraknya, pasti kembali lagi ke daerah. Itu baru bentuk kewajiban," ujar Adib. Adapun dokter spesialis yang ditanggung pemerintah daerah saat ini, kata Adib, jumlah sangat kecil dibandingkan lulusan mandiri.

Meski demikian, kata Adib, IDI tetap mendukung upaya pemerintah untuk mendistribusikan dokter spesialis ke wilayah-wilayah pinggiran Nusantara. Sebab, memang masih banyak daerah-daerah yang kekurang dokter spesialis.

"Lima besar kebutuhan dokter spesialis saja seperti spesialis dalam, anak, bedah, anestesi, dan obgyn, itu masih banyak daerah-daerah yang tidak ada. Nah ini yang kemudain kita minta, bagaimana sekarang distribusinya merata," papar Adib.

Solusi dari IDI, ujar Adib, adalah dengan memperbanyak dokter spesialis yang pendidikannya dibiayai pemerintah daerah ataupun pusat. Selain itu, pemerintah juga bisa mengoptimalkan dokter spesialis yang memang secara sukarela ingin bertugas di wilayah pinggiran.

"Masih ada juga kok yang mau ke daerah walau tidak wajib dalam program sekarang. Meskipun jumlah tak sebanyak sebelumnya," kata Adib.

Perpres Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pendayagunaan Dokter Spesialis diterbitkan Jokowi usai Perpes sebelumnya dianulir oleh MA. Yakni, Perpres Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS).

MA menganulis Perpes Nomor 4/2017 itu lanraran melanggar UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 19 tahun 1999 tentang Konvensi ILO soal Penghapusan Kerja Paksa. MA menilai bahwa adanya wajib kerja 1 tahun serta WKDS di daerah di seluruh Indonesia dianggap sebagai bagian dari kerja paksa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement