REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penurunan permukaan air tanah di Jakarta menjadi salah satu kajian Badan Geologi Kementerian ESDM khususnya di wilayah Jakarta Utara. Koordinasi lintas sektor terus dilakukan untuk melakukan monitoring dan upaya-upaya pemantauan laju penurunan air tanah sehingga laju bisa diperlambat. Ini mengingat ada faktor pengaruh manusia yang masih bisa dikendalikan.
Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Rudy Suhendar mengatakan, faktor penurunan air tanah itu ada yang bersifat alami dan ada yang campur tangan manusia. "Yang alami disebabkan adanya natural consolidation, secara alami lapisan-lapisan di bawah tanah termampatkan serta pengaruh pergerakan tektonik. Namun untuk tektonik ini tidak dalam hitungan tahun atau puluhan tahun tetapi dalam ratusan tahun," ujar Rudy, Ahad (3/11).
Lebih lanjut, Rudy mengungkapkan, penurunan tanah di Jakarta bagian Utara bukan fenomena baru, tapi sudah terjadi lama karena secara geologi wilayah Jakarta Utara tersusun dari batuan aluvium yang usianya relatif muda, belum terkonsolidasikan sempurna. "Itulah secara geologi-nya, itu tidak bisa kita upayakan apa-apa," kata Rudy.
Untuk faktor yang dipengaruhi manusia, Rudy menyebut, beban bangunan dan ekstraksi (pengambilan) air tanah menjadi penyebab naiknya laju permukaan air tanah. Salah satu contohnya jalan tol bandara sudah turun, juga gedung di depan stasiun kereta Jakarta Kota. "Kalau soal ekstraksi air tanah berada di antara pori-pori. Ketika pori-pori kosong terjadi pemampatan sehingga terjadi penurunan air tanah. Pengaruh manusia ini masih bisa dikendalikan. Ini yang bisa kami monitor dan awasi untuk memperlambat laju penurunan," jelasnya.
Rudy menyampaikan, beberapa hal telah dilakukan pihaknya bekerja sama dengan berbagai elemen pemerintah. Beban bangunan harus berada di atas batuan keras, baik gedung, jalan, jembatan atau lainnya. "Di beberapa tempat yang memang ada pengusulan pengajuan pengambilan air tanah juga diawasi dan diperketat dalam perizinannya. Sumur-sumur resapan dan penampungan air juga mulai dimasifkan," ujar dia.
Badan Geologi sendiri melakukan upaya monitoring dan konservasi air tanah di beberapa titik di Jakarta. "Apa yang kami sampaikan kemarin sebagai triger bagi otoritas mengetahui kondisinya. Kebijakan itu dieksekusi pemerintah provinsi. Pemanfaatan lahan dan ruang untuk dijadikan bahan pengambilan keputusan," jelas Rudy.
Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan Badan Geologi, dilaporkan penurunan permukaan tanah di Jakarta mencapai 12 sentimeter per tahun. Paling tinggi terjadi di daerah Ancol, Jakarta Utara.
Pengambilan air tanah secara berlebihan menyumbang 30 persen penurunan muka tanah (land subsidence) di Jakarta. Disusul kompakasi tanah (alamiah), pembebanan akibat pembangunan, dan geotektonik.