REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengklaim rencana pemekaran di Papua merupakan aspirasi dari masyarakat bawah yang ditemuinya saat berdialog di Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Menurut Jokowi, dia tak menawarkan ataupun memerintahkan untuk membentuk provinsi baru di Papua.
"Keinginan-keinginan mereka. Keinginan beliau-beliau, tokoh-tokoh yang ada di Pegunungan Tengah. Saya pada posisi mendengar. Bukan saya menawarkan atau saya memerintahkan," kata Jokowi saat berbincang dengan awak media di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (111).
Jokowi menegaskan, pemerintah sampai saat ini masih melakukan moratorium pemekaran wilayah. Ia menceritakan, saat mendengar keinginan adanya pemekaran, saat itu hanya menjawab akan menindaklanjuti dengan kajian-kajian. "Juga, dengan kalkukasi yang matang," ujarnya.
Jokowi memaklumi adanya penolakan dari Majelis Rakyat Papua (MRP) terkait rencana pemekaran. Namun, ia menegaskan, akan memutuskan kebijakan yang terbaik untuk negara. "Dalam sebuah negara besar, apalagi dalam forum besar, seperti di Papua, ya dalam negara demokrasi ini perbedaan-perbedaan kan biasa," ucapnya.
Majelis Rakyat Papua sebelumnya menyatakan menolak pembentukan dua provinsi baru di Bumi Cenderawasih. Ketua MRP Timotius Murib menegaskan, penambahan dua wilayah tingkat satu yang baru di Papua bukan solusi dari persoalan yang dialami rakyat Papua selama ini.
Alih-alih menyetujui, Timo mengatakan, wacana pembentukan dua provinsi baru akan memicu konflik horizontal antara sesama rakyat yang wilayahnya akan dimekarkan.
Dalam penelusuran Republika mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak awal pemekaran Papua digaungkan awal tahun 2000-an sampai tahun lalu, kualitas kesejahteraan rakyat Papua justru cenderung menurun. Dari tren indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) justru menurun 10 tahun terakhir, kemudian variabel angka melek huruf juga menurun 10 tahun terakhir, rata-rata lama sekolah cenderung stagnan, dan angka harapan hidupnya dalam 10 tahun terakhir juga menurun.
Ketua Urusan Rumah Tangga MRP Dorince Meheu mengatakan, Presiden Jokowi semestinya memerintahkan kementerian untuk berdiskusi dengan lembaga resmi adat yang didirikan negara sebagai representasi orang asli Papua. Dia mengatakan, MRP sampai saat ini tak pernah dilibatkan dalam membahas pemekaran wilayah.
Dorince menegaskan, sebagai lembaga resmi negara, MRP seharusnya dilibatkan dalam usulan wacana ataupun pembahasan. “Kalau ada Tim 61 yang datang ke Presiden, silakan saja. Kami (MRP) diam. Tetapi, ya mohon maaf, kondisi Papua ini semua harus jaga toh. Apakah kami ini dihormati atau tidak,” ujar dia saat dihubungi Republika, Jumat (111). Tim 61 adalah para perwakilan dan tokoh adat Papua yang punya jasa memenangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Papua saat Pilpres 2019. Tim tersebut bulan lalu mendatangi Istana Negara di Jakarta dan menyampaikan agar Papua dimekarkan.
Menurut Dorince, MRP tak dalam posisi dukung-mendukung pemekaran. Hanya, menurut dia, persoalan pemekaran menjadi ranah MRP dalam konstitusional. Mengacu pada Pasal 76 UU 212001, MRP memiliki kewenangan mutlak mengusulkan, membahas, dan memberikan rekomendasi pemekaran wilayah Papua sebelum diresmikan pemerintah pusat.
Oleh karena itu, menurut Dorince, nihilnya peran MRP dalam wacana pemekaran seperti mengangkangi fungsi dan peran MRP sebagai lembaga kultural untuk Papua yang dibentuk oleh negara. Dorince menambahkan, MRP belum melihat adanya aspirasi resmi yang disampaikan di daerah-daerah adat terkait pemekaran. Itu mengapa, kata dia, MRP belum membahasnya.
Menurut dia, jika pemekaran tersebut menjadi kebutuhan untuk menyejahterakan orang-orang asli Papua, wacana tersebut akan menjadi baik dan harus didukung. “Sah-sah saja kalau memang itu sudah menjadi keputusan Presiden,” kata Dorince.
Namun sebaliknya, kata dia, yang tak diinginkan semua orang di Papua adalah pemekaran menjadi ajang membayar jasa-jasa politik segelintir orang.